Banyak yang mengatakan bahwa, belajar dari kesalahan itu sangat berharga. Kesalahan yang ingin saya bahas di sini buat saya pribadi adalah marah-marah atau misuh-misuh atau sebal atau ga suka -atau apapun itu lah ya- kepada seseorang tapi ga langsung nyampein ke orangnya, malah cerita ke orang lain atau yang lagi ngetrend sekarang misalnya memanfaatkan jejaring sosial dengan hashtag #nomention. Lain cerita yah kalo pake hashtag #nomention untuk sesuatu yang arahnya cenderung positif atau bahasa sederhananya, tidak akan menimbulkan masalah bagi pihak lain.
Honestly, dulu saya terhitung cukup sering melakukan hal ini. Kalo lagi sebel sama -sebut saja- si A, tapi karena ga berani ngomong langsung, jadinya melampiaskan di jejaring sosial, entah itu plurk, twitter, facebook, status YM, dll, dsb. Kalo saya lihat kembali ke belakang, daripada puasnya, saya lebih banyak ngerasa nyesel.
Pernah suatu waktu, akibat status saya di twitter, berakhir pada pertengkaran yang cukup sengit dan melibatkan cukup banyak pihak (malah sempat ada wacana mau dibawa ke jalur hukum). Walau pada akhirnya, permasalahan itu selesai dengan cukup damai, tapi tetep aja, ada history yang tidak menyenangkan.
Saya ambil contoh yang paling gampang, yaitu di twitter (karena media ini yang lagi nge-trend dan emang lagi seneng-senengnya saya pantau). Selama beberapa waktu saya amati dan akhirnya saya buat sendiri beberapa asumsi.
Beberapa orang yang misuh-misuh atau protes dengan suatu content yang pribadi itu sebenarnya sebal atau marah kepada seseorang di list follower-nya dengan tujuan agar terbaca oleh yang b ersangkutan (lah, trus kenapa?). Emang mau berharap following action apa? Bakal mengurangi kekesalan? Saya yakin, hampir tidak. Kalo ternyata bukan kepada follower, mungkin kepada teman si follower. Kalo bukan juga, mungkin sebagai bentuk protes ke pemerintah atau suatu lembaga atau apapunlah itu yang memang karena cukup sulit untuk menjangkau obyeknya, akhirnya hanya bisa marah-marah atau misuh-misuh doang, dan saking stuck-nya jadi ingin release beban hati atau uneg-unegnya. Intinya, selain hal terakhir yang saya sebutkan di kalimat sebelumnya, tweet seperti itu hampir selalu punya tujuan tersembunyi (yang hanya Tuhan dan dia yang paham).
Padahal, yah, kalo mau dipikir dengan sangat jernih, akan sangat jauh lebih baik kalo kekesalan atau kemarahan itu langsung disampaikan kepada yang bersangkutan (jika memungkinkan), dengan bahasa dan penyampaian masing-masing. Kerugian (moriil) yang akan ditanggung akan jauh lebih kecil dibanding apabila hanya mengumpat-ngumpat dan mengumbar-ngumbar tanpa kejelasan siapa yang dituju.
Sebagai contoh, saya pernah membaca tweet seseorang yang saya follow. Entah karena saya merasa terlalu cerdas dalam menginterpretasi atau memang tingkat ke-sotoy-an saya cukup tinggi, jadilah saya merasa tweet tersebut ditujukan untuk saya. Berhubung orang ini adalah teman baik saya, jadilah saya cukup terganggu selama beberapa waktu, hingga hitungan minggu. Semakin lama saya semakin merasa terganggu sehingga akhirnya karena gelisah, saya menanyakan langsung kepada teman saya itu, apakah saya yang dimaksud dalam tweet dia. Dan ternyata kecurigaan saya salah mentah-mentah. Selama beberapa minggu, i was just keep wondering, dan ternyata itu bukan ditujukan untuk saya. Teman saya pun ternyata mempertanyakan, kenapa saya jadi lebih tertutup, dan bahkan mengira saya yang sedang tidak ingin bersosialisasi dengannya. Complicated, huh?! Sederhana, tapi kalo saya ingat lagi kerugian moriil yang saya derita, betapa saya telah menghabiskan cukup banyak waktu dan energi untuk 'just keep wondering' yang sebenarnya ga perlu.
Contoh lain, saya lagi-lagi membaca tweet seseorang yang juga saya follow (sebut saja A). Kali ini saya sangat yakin, bahwa tweet tersebut ditujukan untuk seseorang yang dekat dengan saya (sebut saja X), berdasarkan keadaan yang sedang terjadi. Tadinya saya ga ambil pusing. Tetapi beberapa waktu kemudian, waktu saya lagi bareng X, hingga kemudian tercetus suatu cerita, saya kait-kaitkan kejadian tersebut dengan tweet si A, oh ternyata memang benar bahwa obyek dari tweet si A tersebut tak lain tak bukan adalah X, yang mana X sendiri tidak merasakan sesuatu yang salah atau berarti dengan kejadian tersebut. Dari cerita yang rumit ini, akan jadi jauh lebih sederhana (dan mungkin win-win solution) apabila A dengan berani langsung menyatakannya pada X. Respek saya pada A pun honestly terjun bebas walau hal tersebut bukan dalam kapasitas saya. Kalo saya analogikan, apa rasanya sih pup setengah-setengah. Ga sakit apa, ya? *i'm talking to myself, too, karena saya pun masih sedang dalam usaha untuk memperbaiki diri*.
Dari paragraf di atas, saya akui memang kontradiktif, yang ujung-ujungnya kok saya jadi ngomongin orang juga. Hal ini saya bahas sebagai contoh atas penjelasan saya di awal tadi, dengan tujuan, hopefully, bagi siapa pun yang pernah mengalami kejadian serupa (dan saya juga), bahwa 'begini loh contoh nyata akibatnya' dan akan sangat jauh lebih baik kalo jujur-jujuran aja, deh, ketimbang bersikap pura-pura biasa saja tetapi hati menjerit tak suka? Analogi lainnya, mau ngelempar batu ke orang, tapi cuma ngenain bayangannya aja. Apa bakal membuat si obyek sadar dan bahkan merasa sakit? Beda ceritanya jika emang beneran ngelempar batu ngenain si obyek. Mungkin si obyek bakal marah, bakal nanya, 'kenapa kamu ngelempar saya pake batu?', tetapi kita bisa menjelaskan duduk perkaranya bahwa, 'iya, aku ngelempar kamu biar kamu tau kalo bla bla bla' --> Ada komunikasi dua arah yang terjalin sehingga at least akan ada kejelasan, terlepas dari baik atau buruknya penjelasan itu, dan yang paling penting, akan ada juga following-action dari hal tersebut.
Saya lihat lagi timeline twitter saya sendiri, cukup banyak tweet-tweet saya yang terselubung. Kalo mau jujur, tweet-tweet itu pengen saya hapus, karena biasanya emang baru ngehnya telat, malah menunjukkan 'kedangkalan' hati saya. Tapi, tetap akan saya biarkan seperti itu, karena kalo diliat-liat lagi, jadi inget, kalo saya pun masih dalam tahap berusaha untuk meredam, menahan, dan menjadi netral, dan agar tidak melakukan hal serupa di kemudian hari.
Mengutip pesan dari orang bijak, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. I'll try my best.
Honestly, dulu saya terhitung cukup sering melakukan hal ini. Kalo lagi sebel sama -sebut saja- si A, tapi karena ga berani ngomong langsung, jadinya melampiaskan di jejaring sosial, entah itu plurk, twitter, facebook, status YM, dll, dsb. Kalo saya lihat kembali ke belakang, daripada puasnya, saya lebih banyak ngerasa nyesel.
Pernah suatu waktu, akibat status saya di twitter, berakhir pada pertengkaran yang cukup sengit dan melibatkan cukup banyak pihak (malah sempat ada wacana mau dibawa ke jalur hukum). Walau pada akhirnya, permasalahan itu selesai dengan cukup damai, tapi tetep aja, ada history yang tidak menyenangkan.
Saya ambil contoh yang paling gampang, yaitu di twitter (karena media ini yang lagi nge-trend dan emang lagi seneng-senengnya saya pantau). Selama beberapa waktu saya amati dan akhirnya saya buat sendiri beberapa asumsi.
Beberapa orang yang misuh-misuh atau protes dengan suatu content yang pribadi itu sebenarnya sebal atau marah kepada seseorang di list follower-nya dengan tujuan agar terbaca oleh yang b ersangkutan (lah, trus kenapa?). Emang mau berharap following action apa? Bakal mengurangi kekesalan? Saya yakin, hampir tidak. Kalo ternyata bukan kepada follower, mungkin kepada teman si follower. Kalo bukan juga, mungkin sebagai bentuk protes ke pemerintah atau suatu lembaga atau apapunlah itu yang memang karena cukup sulit untuk menjangkau obyeknya, akhirnya hanya bisa marah-marah atau misuh-misuh doang, dan saking stuck-nya jadi ingin release beban hati atau uneg-unegnya. Intinya, selain hal terakhir yang saya sebutkan di kalimat sebelumnya, tweet seperti itu hampir selalu punya tujuan tersembunyi (yang hanya Tuhan dan dia yang paham).
Padahal, yah, kalo mau dipikir dengan sangat jernih, akan sangat jauh lebih baik kalo kekesalan atau kemarahan itu langsung disampaikan kepada yang bersangkutan (jika memungkinkan), dengan bahasa dan penyampaian masing-masing. Kerugian (moriil) yang akan ditanggung akan jauh lebih kecil dibanding apabila hanya mengumpat-ngumpat dan mengumbar-ngumbar tanpa kejelasan siapa yang dituju.
Sebagai contoh, saya pernah membaca tweet seseorang yang saya follow. Entah karena saya merasa terlalu cerdas dalam menginterpretasi atau memang tingkat ke-sotoy-an saya cukup tinggi, jadilah saya merasa tweet tersebut ditujukan untuk saya. Berhubung orang ini adalah teman baik saya, jadilah saya cukup terganggu selama beberapa waktu, hingga hitungan minggu. Semakin lama saya semakin merasa terganggu sehingga akhirnya karena gelisah, saya menanyakan langsung kepada teman saya itu, apakah saya yang dimaksud dalam tweet dia. Dan ternyata kecurigaan saya salah mentah-mentah. Selama beberapa minggu, i was just keep wondering, dan ternyata itu bukan ditujukan untuk saya. Teman saya pun ternyata mempertanyakan, kenapa saya jadi lebih tertutup, dan bahkan mengira saya yang sedang tidak ingin bersosialisasi dengannya. Complicated, huh?! Sederhana, tapi kalo saya ingat lagi kerugian moriil yang saya derita, betapa saya telah menghabiskan cukup banyak waktu dan energi untuk 'just keep wondering' yang sebenarnya ga perlu.
Contoh lain, saya lagi-lagi membaca tweet seseorang yang juga saya follow (sebut saja A). Kali ini saya sangat yakin, bahwa tweet tersebut ditujukan untuk seseorang yang dekat dengan saya (sebut saja X), berdasarkan keadaan yang sedang terjadi. Tadinya saya ga ambil pusing. Tetapi beberapa waktu kemudian, waktu saya lagi bareng X, hingga kemudian tercetus suatu cerita, saya kait-kaitkan kejadian tersebut dengan tweet si A, oh ternyata memang benar bahwa obyek dari tweet si A tersebut tak lain tak bukan adalah X, yang mana X sendiri tidak merasakan sesuatu yang salah atau berarti dengan kejadian tersebut. Dari cerita yang rumit ini, akan jadi jauh lebih sederhana (dan mungkin win-win solution) apabila A dengan berani langsung menyatakannya pada X. Respek saya pada A pun honestly terjun bebas walau hal tersebut bukan dalam kapasitas saya. Kalo saya analogikan, apa rasanya sih pup setengah-setengah. Ga sakit apa, ya? *i'm talking to myself, too, karena saya pun masih sedang dalam usaha untuk memperbaiki diri*.
Dari paragraf di atas, saya akui memang kontradiktif, yang ujung-ujungnya kok saya jadi ngomongin orang juga. Hal ini saya bahas sebagai contoh atas penjelasan saya di awal tadi, dengan tujuan, hopefully, bagi siapa pun yang pernah mengalami kejadian serupa (dan saya juga), bahwa 'begini loh contoh nyata akibatnya' dan akan sangat jauh lebih baik kalo jujur-jujuran aja, deh, ketimbang bersikap pura-pura biasa saja tetapi hati menjerit tak suka? Analogi lainnya, mau ngelempar batu ke orang, tapi cuma ngenain bayangannya aja. Apa bakal membuat si obyek sadar dan bahkan merasa sakit? Beda ceritanya jika emang beneran ngelempar batu ngenain si obyek. Mungkin si obyek bakal marah, bakal nanya, 'kenapa kamu ngelempar saya pake batu?', tetapi kita bisa menjelaskan duduk perkaranya bahwa, 'iya, aku ngelempar kamu biar kamu tau kalo bla bla bla' --> Ada komunikasi dua arah yang terjalin sehingga at least akan ada kejelasan, terlepas dari baik atau buruknya penjelasan itu, dan yang paling penting, akan ada juga following-action dari hal tersebut.
Saya lihat lagi timeline twitter saya sendiri, cukup banyak tweet-tweet saya yang terselubung. Kalo mau jujur, tweet-tweet itu pengen saya hapus, karena biasanya emang baru ngehnya telat, malah menunjukkan 'kedangkalan' hati saya. Tapi, tetap akan saya biarkan seperti itu, karena kalo diliat-liat lagi, jadi inget, kalo saya pun masih dalam tahap berusaha untuk meredam, menahan, dan menjadi netral, dan agar tidak melakukan hal serupa di kemudian hari.
Mengutip pesan dari orang bijak, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. I'll try my best.
2 comments:
Semua kejadian emang ada hikmahnya yaa.. Amiiin. Kalau gw dulu pernah liburan sama seseorang yg ternyata gak menikmati trip itu, and saying bad words about us di twitter, tp gak berani ngomong langsung sama kita. Sangat sangat sangat dissappointing... Semoga kita semua dijaga prasangkanya dan dihindarkan dari hati yang dangkal yah. Amiiin..
iya, va, karena pernah berada di posisi 'si pencetus tweet terselubung' itu lah makanya jadi sadar kalo itu aksi kaya gitu malah 'sangat dangkal'.
masih sering sih, kalo kesel, pengen diumbar tapi balik ingat komitmen untuk ga 'menusuk dari belakang'.
Amiinn.. amiinn.. saling mengingatkan yaaa kita, fufufu..
Post a Comment