Rasa-rasanya saya belum pernah mendengar, ada yang ga butuh teman di dunia ini. Dengan kata lain, semua pasti butuh. Kadarnya beragam, apakah itu teman akrab, teman baik, teman biasa, atau teman yang cukup 'nice to know' saja, atau malah teman di dunia maya yang mungkin ga pernah berinteraksi langsung, hanya say hello sesekali, you name it lah.
Salah satu cerita yang cukup membekas di hati saya mengenai pertemanan adalah cerita di waktu SMA, saat baru beberapa bulan memakai seragam putih abu-abu. Saat itu saya cukup cepat membaur, di antaranya adalah dengan [sebut saja] O dan P. Karena didukung dengan kebersamaan yang hampir 24 jam sehari, jadilah kami cepat akrab satu sama lain.
Di tengah-tengah keakraban yang baru terjalin itu, ada peristiwa dimana seorang senior menjodoh-jodohkan saya dengan senior saya yang lain (sebut saja F). Karena cukup dekat dengan O dan P, saya tahu bahwa sebenarnya O diam-diam menyukai F. Di satu sisi, saya takut akan merusak pertemanan saya terlebih dengan O, tetapi di sisi lain saya ga bisa menyangkal perasaan saya yang mulai tumbuh pada F. Jalan tengahnya, saya kalem saja menunggu aksi apa yang akan dilancarkan oleh F terhadap saya.
Seperti yang sudah saya duga (dan saya harapkan pada saat itu), akhirnya F menyatakan perasaannya pada saya walaupun menggunakan jasa pihak ketiga. Tanpa pikir panjang, resmilah kami terikat status pacaran. Saya lupa bagaimana persisnya kejadian itu, tetapi akhirnya O tahu dan sungguh melegakan bahwa dia sama sekali tidak keberatan. Dengan kepolosan saya, saya anggap itu benar-benar sesuai dengan isi hatinya, she was just fine.
Beda halnya dengan P. Begitu ia tahu bahwa saya jadian sama F, sikapnya berubah drastis, yang semula kami berteman akrab kemudian menjadi from somebody to nobody. Segala ketidaksukaannya pada saya terang-terangan ia tunjukkan, selalu dengan mengungkit soal hubungan saya dengan F. Waktu itu belum ada yang namanya media sosial sehingga bentuk ketidaksukaannya secara langsung ia tunjukkan di depan saya. Saya yang tadinya maunya kalem aja, menjadi terbakar emosi sehingga menjadi kalap dan ikut membencinya.
Kondisi itu berlangsung selama 1 tahun lebih. Teman-teman yang berada di antara kami pun menjadi bingung menentukan sikap di tengah kejadian panas itu. Beruntung teman-teman yang lain bersikap cukup netral sehingga tidak tercipta gap atau kubu. Hal ini menjadi salah satu hal yang terus saya kenang hingga saat ini mengenai arti berteman, entah karena memang di jaman dulu kami masih sangat sepolos itu atau istilah backstabber memang belum terkenal, sehingga saya hampir tidak menemukan teman seangkatan yang bergunjing dan menghasut di belakang. Kalopun ada, berarti saya melewatkannya dan Alhamdulillah untuk itu :)
Sampai pada suatu saat, saya dan P terpaksa harus bareng, saat akan pesiar keluar asrama. Transportasi dari depan asrama hingga pinggir jalan raya pada waktu itu sangat jarang sehingga salah satu jalannya adalah dengan menumpang mobil jemputan teman. Biasa kami juga ikut sampai rumah mereka untuk sekalian berganti pakaian biasa.
Waktu itu saya bersama teman yang lain kurang lebih sekitar 5 atau 6 orang. Sepanjang perjalanan, suasananya kurang nyaman karena ketika saya terlibat dalam pembicaraan maka si P akan diam saja. Begitu P yang terlibat, gantian saya yang terkucilkan. Hari itu adalah waktu dimana kami berada dalam satu tempat dalam waktu yang cukup lama. Saya lebih banyak diam, memperhatikan ia bercanda gurau dengan teman yang lain.
Saat itu, jujur, saya cukup merasa kehilangan. Karena saling menghindar satu sama lain, praktis saya tidak begitu memperhatikannya. Sikapnya memang menyebalkan, tetapi ia melakukan itu beralasan, atas dasar peduli kepada O yang terdzhalimi oleh perbuatan saya, bukan karena hal lain. Dan segala bentuk kebenciannya itu memang nyata ia tunjukkan dengan menyebutkan alasannya dan pada saat itu kalo dipikir-pikir emang ga ada salahnya. Toh ia tidak selamanya bersikap menyebalkan, hanya di saat-saat tertentu, ketika saya sedang terlihat bersama F atau ketika ada sesuatu yang menyangkut F di dalamnya. Sisanya, dia hanya mendiamkan saya saja. Berhubung waktu itu saya masih terjangkit virus gengsi tingkat tinggi dan enggan untuk meminta maaf (lagi), akhirnya kesadaran itu hanya mengendap begitu saja, tanpa ada realisasi, tanpa ada aksi.
Sesampainya di rumah teman saya, segera kami menanggalkan pakaian dinas dan berganti dengan pakaian layaknya remaja biasa. Rencana semula, kami akan jalan misah-misah tetapi akhirnya diputuskan untuk jalan bareng.
Sewaktu di mall, saat sedang jalan dan asyik bercanda di kerumunan, tiba-tiba P berteriak pada saya dan menunjukkan bahwa dompet saya jatuh. Satu kejadian kecil itu lantas membuka tabir nilai positif P yang selama ini tertutupi oleh kelamnya mata hati saya yang dikuasai oleh emosi yang beralasan sangat dangkal.
Saya lantas berterimakasih padanya. Beberapa detik kami saling berpandangan awkward, dan dengan kekuatan yang berhasil mengalahkan rasa gengsi, saya menjabat tangannya dan meminta maaf untuk semua hal yang pernah menyakitinya. Reaksinya persis seperti yang saya duga (dan juga saya harapkan), ia membalas genggaman tangan saya lebih erat dan tersenyum awkward. Tembok tinggi yang tak sadar selama berbulan-bulan terbangun, perlahan runtuh. Sakit hati yang tertimbun tinggi kemudian hilang, berganti dengan perasaan haru luar biasa. Benar-benar satu titik balik untuk kami memulai kembali pertemanan yang sempat luntur. Kelegaan yang saya rasakan saat itu seingat saya mungkin lebih besar dibanding kelegaan ketika mengetahui bahwa F memiliki perasaan yang sama dengan saya. Setelah acara jalan-jalan tersebut berakhir, kami sempatkan untuk hanya berdua saja mengenang dan sedikit membahas mengenai permasalahan di antara kami selama setahun sebelumnya. Betapa banyak waktu yang kami buang percuma, betapa banyak momen yang kami lewatkan, hanya karena menghamba pada gengsi dan emosi.
Sekarang, hubungan saya dan P, walau terbilang tidaklah begitu istimewa, tetapi ketika mendengar namanya ditanyakan kepada saya, daripada menjawab, 'Oh ya, dia teman SMA saya', saya akan lebih memilih menjawab, 'Oh, ya, saya kenal baik. Dia teman saya. Kami berteman sejak SMA... bla... bla... bla...'
Saya berpendapat bahwa berteman baik bukan berarti mengenai kecocokan atau kemiripan up to 99.99% (karena ga mungkin ada yang sempurna 100%). Pun dengan ketidakcocokan 99.99% tidak lantas masuk kategori bukan teman. Berteman baik bukan juga dengan frekuensi kebersamaan yang tinggi. Pun dengan kebersamaan yang minim, bukan berarti tidak bisa dikatakan berteman baik.
Dari sekian pengalaman yang ada, seorang teman akan mengingatkan apabila temannya melakukan kesalahan. Karena manusia itu diciptakan berbeda-beda, karena itu pula caranya beragam, ada yang mengingatkan dengan halus dan sabar, ada pula yang mengingatkan dengan keras dan menyakitkan, seperti yang saya ceritakan di atas. Tetapi setelah dibandingkan dengan kejadian dimana kesalahan yang mungkin kita perbuat tidak langsung dikoreksi melainkan dijadikan bahan untuk menjatuhkan kita di depan orang lain, hal ini jauh lebih sangat mengecewakan dan menyakitkan sehingga bukannya merasa sakit melainkan mati rasa. Apalagi yang lebih buruk daripada tidak bisa merasakan apa-apa? Hilanglah sudah satu komponen yang memanusiakan kita, CIPTA , [tidak ada] RASA, dan KARSA.
Intinya, ada 3 komponen utama. Orang yang mengingatkan, orang yang diingatkan, dan yang paling penting ada pesan yang disampaikan. Ketika kita menjadi orang yang mengingatkan dan merasa telah mengirimkan pesan dengan cukup jelas kepada orang yang harus diingatkan, hasil akhir apakah orang yang diingatkan ini akan menerima atau tidak, kembali kepada kelapangan hatinya untuk menerima masukan dari orang lain.
Seorang teman bukanlah malaikat. Tetapi seorang teman juga seharusnya bukan iblis. Ada kalanya seorang teman tidak bisa memenuhi kapasitasnya sebagai seorang teman, dan di saat itulah seharusnya kita bisa menjadi teman pula untuknya. Saya pun masih menggali arti pertemanan yang sebenar-benarnya dan keinginan saya adalah untuk lebih menghargai dan menjaga pertemanan yang telah terjalin, dengan siapapun itu.
1 comment:
nice share sist
Post a Comment