“Tapi gue cinta dia, Rin. Teramat sangat mencintainya. Gue ga mungkin bisa ngelupain dia. Cinta ini begitu dalam,” jawabku pelan.
Satu nama itu telah mengisi hari-hariku selama beberapa bulan belakangan ini. Hampir tidak ada yang salah. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku. Hanya saja, aku bukan satu-satunya wanita yang dicintainya. Telah ada wanita lain yang mengisi hatinya. Wanita yang lebih dulu dikenalnya. Begitulah pengakuannya padaku.
Aku sedang asyik membaca sinopsis Chicken Soup for the Soul di toko buku, ketika seseorang tiba-tiba menyapaku.
“Menurut kamu, hadiah buat cewe, bagus yang ini atau ini,” katanya sambil memegang dua buah buku, Chicken Soup for the Single’s Soul dan for the Couple’s Soul. Karena pria ini tidak menunjukkan gelagat seperti orang jahat, aku menjawab pertanyaannya.
“Simpel aja, kalo dia single, kasih yang ini, kalo buat pacar atau istri kasih yang ini,” jawabku sambil menunjuk buku Chicken Soup for the Couple’s Soul untuk pilihan yang kedua.
“Kalo buat kamu, cocoknya yang mana?” tanyanya dengan tersenyum menggoda.
Mengerti akan maksudnya, aku menjawab dengan santai, “Kalo gue udah punya dua-duanya”.
“Itu artinya apa? Kamu single atau sudah punya pacar? Atau sudah punya suami? Atau malah sudah punya anak?” cecarnya beruntun.
Setelah mengambil Chicken Soup for Woman’s Soul, aku beranjak ke kasir tanpa menghiraukan pertanyaan pria itu. Dasar idiot. Hari gini makin aneh aja cara ngajak kenalan. Spontan dan blak-blakan, nggak pake basa-basi lagi.
Ternyata pria itu mengikuti langkahku menuju kasir. Saat aku keluar dari toko buku juga dia tetap mengikutiku.
“Maaf kalo cara saya norak, tapi saya sungguh ingin berkenalan dengan kamu. Saya Yoga. Kamu?” tanyanya dengan tampang memelas.
Aku mengeluarkan notes dan pulpen kemudian menuliskan sesuatu di atasnya. Selembar note itu kemudian aku berikan kepadanya.
“F*N*. Apa ini? F bintang N bintang? Wah, nama kamu unik juga, ya,” godanya.
“Kalo kamu bisa nebak nama gue dari clue itu, baru gue mau kenalan ma lo,” jawabku sambil berlalu dari hadapannya.
“FINA,” panggilnya cepat.
Sontak aku berbalik dan bertanya dengan setengah heran, “Gimana lo bisa tahu nama gue? Lo dukun, ya?”
“Saya ini bisa jadi apa aja. Jadi dukun buat nebak nama kamu juga bisa. Jadi… Nama kamu Fina. Hmm.. Nama yang cantik, secantik orangnya,” jawabnya dengan PD tingkat tinggi.
Begitulah awal perkenalan kami. Setelah kejadian hari itu, aku sempat melupakannya. Sampai pada suatu hari, ada nomor asing yang menelponku.
“Halo, Fina? Yang punya Chicken Soup for Single’s dan Woman’s Soul?” tanyanya dengan tawa renyah.
Bagaimana aku bisa lupa dengan cowok aneh bin ajaib itu.
“Gimana lo bisa tau nomer HP gue? Jangan-jangan lo beneran dukun, ya? Lo tau dong berarti kalo sekarang gue cuma pake handuk doang?” tanyaku membabi buta.
“Iya, aku tau,” jawabnya dengan tawa meledak.
Dengan panik aku menyambar baju dan dengan cepat mengenakannya.
“Ga usah panik gitu. Aku kan taunya barusan, karena kamu yang ngasih tau. Tenang aja, aku bukan dukun, kok,” katanya dengan tawa makin meledak.
“Jadi, waktu dulu kamu pulang dari toko buku, aku ngikutin kamu nyampe rumah, eh, atau kost ya? Ya, itu-lah. Trus, aku stand by di situ sampai ada orang yang keluar rumah. Dari orang itu, aku dapet nomer HP kamu, hehe.. Maaf, yaaa.. Abisnya kamu ga mau ngasih tau,” katanya dengan nada memelas.
“Ya ampuunn.. Lo tuh niat banget, ya, ampe segitunya,” balasku dengan keheranan.
“Semua hal memang membutuhkan perjuangan. Ada usaha, ada jalan. Hmm.. Jadi.. Boleh aku ngajak kamu keluar hari ini?” tanyanya dengan penuh harap.
Hari itu merupakan kali pertama kami jalan bareng. Aku yang semula tidak peduli akan dirinya menjadi tertarik. Cowok ini begitu bersemangat, penuh dengan kejutan… dan juga tampan. Melihat dia, aku langsung teringat pada aktor lokal Fedi Nuril.
2 bulan kemudian, dia menyatakan perasaannya padaku bahwa sejak pertama kali bertemu pun dia telah jatuh hati padaku. Butuh waktu seminggu untuk menjawab pertanyannya. Selain karena masih belum begitu bisa melupakan seseorang, aku juga masih enggan untuk menerima pria dalam kehidupanku. Tetapi, Yoga dengan gigih meyakinkan aku sehingga pada akhirnya aku pun luluh dan menerimanya.
Hari-hari berikutnya berlangsung normal bagi kami, layaknya orang pacaran.
Hingga suatu hari, beberapa minggu sebelum aku berulang tahun, aku mengetahui dari Yoga sendiri bahwa Yoga telah mempunyai pacar. Hatiku rasanya sakit bukan main. Tak menyangka. Tetapi aku terlanjur mencintainya. Sangat mencintainya. Teramat sangat. Yoga berjanji akan segera menuntaskan permasalahan ini dan akan mengabariku secepatnya.
Sehari.. Dua hari.. Seminggu.. Tiga minggu.. Hingga sebulan berikutnya, tak kunjung ada kabar dari Yoga. Nomor HPnya tidak bisa dihubungi. Aku menelpon ke rumahnya, dia tidak pernah ada di rumah. Aku mendatangi rumahnya, dia juga tidak pernah ada. Sakit rasanya hati ini, tetapi aku ga bisa melupakannya. Bermalam-malam aku menangisi nasib. Berhari-hari aku merepotkan Rindu, mengotori kamarnya dengan tisu bekas ingus karena aku terus-terusan menangis. Berhari-hari pula aku mengacaukan jadwal kencan Rindu dan pacarnya Wisnu karena aku butuh teman curhat. Untung saja, Wisnu cukup mau mengerti keadaanku saat ini.
38 hari kemudian Yoga meneleponku. Aku marah sejadi-jadinya, mempertanyakan keberadaannya selama ini dan juga hubungan kami tentunya. Dia berkata dengan lemah bahwa dia tidak bisa memutuskan pacarnya. Sebulan yang lalu, pacarnya mencoba bunuh diri karena Yoga berkata akan memutuskannya. Yoga merasa bahwa pacarnya lebih membutuhkan dirinya dibandingkan aku.
“Kamu ga fair, Ga. Kamu maksa untuk masuk ke kehidupanku dan sekarang kamu juga mendadak maksa untuk keluar dari kehidupanku. Kamu jahat, Ga. Aku juga butuh kamu. Aku juga bisa nyoba bunuh diri kalo itu bisa buat kamu lebih milih aku,” teriakku dengan kalap.
“Plis, Fin, jangan lakuin itu. Aku tau kamu cewek tangguh. Aku ga pantas buat kamu. Aku jahat dan egois. Suatu saat nanti kamu akan mendapatkan yang lebih baik. Percaya itu, Fin. Maaf, aku harus pergi. Bye, Fin,” katanya menutup pembicaraan kami.
Semua rencana yang telah aku susun untuk merayakan hari ulang tahunku buyar.. sirna.. musnah. Mungkin perayaan ulang tahunku kali ini akan menjadi yang terburuk selama hidupku.
Setelah kejadian itu, aku mencoba bangkit menata hati, berusaha membiasakan diri bangun, makan, jalan, semuanya tanpa Yoga. Selama bersama dengannya, hampir tiap aktivitas kami lakukan bersama. Susah untuk membiasakan diri sendiri lagi setelah sekian lama.
Hari ini banyak meeting di kantor. Pulang dari kantor, aku mengundang beberapa rekan kerja untuk makan bersama untuk merayakan hari ulang tahunku. Pulang ke rumah, badanku serasa remuk redam. Ternyata Rindu sudah terlebih dahulu ada di rumah.
“Nih, ada surat buat lo. Ga ada nama pengirimnya,” tukas Rindu.
Dengan bingung aku membuka amplop surat berwarna biru muda itu. Ini pasti bukan jawaban dari aplikasi online perusahaan yang aku kirim bulan lalu. Penasaran, aku segera merobek amplop surat itu.
Dear Fina, my only sunshine.
Happy birthday, yaa.. Semoga ke depannya kamu jadi lebih baik lagi. Aku mendoakan segala yang terbaik untukmu. Amiinn..
Mungkin kamu kaget menerima surat dari aku. Moga-moga setelah sekian lama perasaan benci kamu ke aku berkurang atau malah sudah hilang. Aku ga pernah bohong waktu aku bilang aku sayang kamu. Aku teramat sangat menyayangimu. Lebih dari yang kau tahu. Aku bahagia bisa mengenalmu. Aku bahagia saat kau menerima cintaku. Aku bahagia bersamamu. I mean it. Andaikan aku memiliki waktu lebih banyak untuk bisa bersamamu.
Dalam hati aku mengutuk. Dasar lelaki, paling bisa menggombal. Kali ini aku tidak akan tertipu lagi.
Aku tau kamu teramat sangat membenciku, Fin. Aku terima itu. Tapi tolong, aku meminta kebaikanmu untuk memaafkanku. Aku ga akan bicara banyak di surat ini. Semua udah terwakili oleh kalimat AKU CINTA KAMU, FINA. Teramat sangat mencintaimu. Walau sekarang dunia kita berbeda, kau tetap ada di hatiku.
Yang menyayangimu,
Yoga
Segera saja surat itu aku remas kemudian kulemparkan ke tong sampah. Dasar buaya, masih aja bisa ngomong manis.
Setelah membaca surat itu, aku tiba-tiba teringat akan semuanya lagi. Kenangan bersama Yoga. Semua kenangan itu terasa sangat menyakitkan. Aku mengelus dadaku yang terasa sakit tiba-tiba. Tanganku menyentuh sesuatu. Kalung. Kalung pemberian Yoga. Tiba-tiba saja amarahku memuncak. Kalung itu aku copot paksa dari leherku. Perih. Tapi masih lebih perih luka di hatiku. Entah apa yang ada di pikiranku, tapi tiba-tiba saja aku ingin mengembalikan kalung itu pada Yoga.
Dengan mantap aku membunyikan bel rumah berpagar abu-abu tua itu. Setahun lebih yang lalu, aku begitu sering berada di rumah ini, menghabiskan waktu bersama Yoga. Dengan sengit aku menepis memori itu. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh Yoga lebih dahsyat efeknya daripada kenangan-kenangan indah bersamanya sehingga mematikan syarafku untuk berfikir yang baik-baik tentang Yoga.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu pagar untukku. Aku memperkenalkan diri dan dia juga memperkenalkan diri sebagai Tante Rita, ibunya Yoga. Wajar memang Yoga berwajah rupawan. Ibunya sendiri sangat cantik bahkan di dengan kerutan yang menghiasi wajahnya.
Aku menanyakan keberadaan Yoga karena ada perlu. Dengan senyum tipis, Tante Rita mempersilakanku untuk masuk. Sebenarnya aku enggan, tetapi akhirnya dengan terpaksa aku masuk juga. Rumah itu masih sama, bahkan aroma semerbak mawarnya pun masih sama.
Tidak tampak akan adanya keberadaan Yoga. Melihat aku bingung, Tante Rita seperti maklum. Beliau kemudian mempertanyakan apakah aku telah menerima surat dari Yoga. Aku mengangguk mengiyakan.
Sejenak beliau seperti menerawang kemudian bercerita tentang masa kecil Yoga. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Tapi tak urung aku menyimak omongan beliau. Kemudian Tante Rita berkata padaku, “Nak Fina cinta sama Yoga? Nak Fina percaya akan ketulusan cinta Yoga? Nak Fina percaya sama Yoga?”
Ingin rasanya aku menjawab, tidak, tidak, dan tidak. Akan tetapi, niat itu aku urungkan. Selain karena tidak enak dengan Tante Rita, juga sebenarnya di dalam hati kecilku, masih menyimpan perasaan itu kepada Yoga. Akhirnya dengan pelan aku hanya menjawab, “Iya..,”.
“Yoga pun begitu, Nak. Dia sangat mencintai kamu. Bahkan melebihi rasa cintanya terhadap dirinya sendiri,” Tante Rita berkata lagi.
Dalam hati aku bertanya-tanya, ada sandiwara apa di balik semua ini. Apakah akhirnya Yoga sadar bahwa akulah yang terbaik untuknya dan kemudian ingin kembali padaku tetapi terlalu gengsi sehingga akhirnya melibatkan ibunya.
Dengan dugaan seperti itu, aku menjadi berang. Sebegitu cetek ternyata Yoga. Takut untuk meminta maaf secara langsung.
Akhirnya dengan nada gusar aku bertanya lagi tentang keberadaan Yoga. Tante Rita berkata akan membawaku ke ke tempat Yoga.
10 menit kemudian kami sudah bermobil menuju tempat Yoga. Sepanjang perjalanan itu, aku menyiapkan diri agar tampil tidak terlalu grogi di hadapan Yoga nantinya. Aku sedikit menyesal dengan dandananku hari itu yang agak sedikit kacau. Tadinya niatku hanya ingin mengembalikan kalung kemudian pulang.
Tante Rita membelokkan mobil ke pelataran parkir sebuah rumah sakit. Kenapa di rumah sakit? Apakah Yoga kini bekerja di sini? Berbagai dugaan ada di benakku.
Kami berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Langkah Tante Rita terhenti di depan kamar VIP bernomor 402. Aku menyentuh lengan Tante Rita dan bertanya, “Ada apa ini sebenarnya, Tante? Fina bingung”.
“Ayo kita masuk saja. Nanti juga kamu akan tau,” jawab Tante Rita. Kali ini air mukanya berubah sedih.
Aku memasuki kamar itu dengan tergesa-gesa. Di sana… Di tempat tidur… Yoga terbaring dengan banyak selang di tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa Yoga sedang sadar. Hening… Hanya ada suara peralatan medis di sekitarnya.
Aku melangkah mendekati Yoga. Walaupun dia telah menyakitiku sedemikian rupa, tetap saja aku tidak tega melihat keadaannya sekarang.
“Yoga sudah lama terbaring di situ. Dia sudah koma selama 8 bulan. Sebelumnya dia menjalani pengobatan di Singapura, tetapi Yoga bersikeras ingin dirawat di Jakarta saja,” kata Tante Rita memecah keheningan di ruangan itu.
“Sewaktu dia belum koma, dia banyak bercerita tentangmu, Nak. Bahkan dia ingin memperkenalkan kamu pada tante. Sayang, kita belum sempat bertemu di saat Yoga masih sehat, masih bisa tertawa…,” mendadak tangis Tante Rita meledak.
“Kira-kira setahun lebih yang lalu Yoga didiagnosis menderita kanker otak. 6 bulan kemudian, dia koma hingga saat ini. Dia tidak ingin memberitahukan padamu karena kamu pasti akan sangat sedih sekali. Akhirnya dia mengarang cerita bahwa dia sudah punya pacar dan pacarnya mencoba bunuh diri saat akan diputuskan. Dia lakukan itu agar kamu membencinya dan cepat melupakannya. Sebenarnya cerita itu tidak pernah ada. Hanya kamu yang ada di hatinya. Tante tidak bisa menolak apa maunya Yoga. Tante teramat sangat menyayanginya. Tante kabulkan semua permintaannya. Dia bilang ke tante supaya jangan memberitahukan hal ini padamu dan meminta suratnya dikirim pada saat kamu berulang tahun, hari ini. Semua tante lakukan untuk Yoga. Yoga berkata bahwa apabila setelah menerima surat itu kamu datang, kemungkinan kamu pun masih mencintainya,’” tutur Tante Rita panjang lebar sambil tak henti-hentinya terisak-isak.
Aku menyesali niat awal kedatanganku, untuk mencaci maki Yoga. Kepalaku mendadak pusing. Tangisku pecah tak karuan. Aku tersungkur di dada Yoga, menangis terisak-isak. Kenyataan ini terlalu mengguncang. Aku tidak siap menerimanya. Runtuh sudah amarahku, hilang lenyap tergantikan oleh cinta yang dulu terinjak-injak di dasar hati namun sekarang membuncah lagi. Kuciumi dahi, pipi, dan tangan Yoga. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Kamu jahat, Ga. Kamu ga pernah bilang ke aku. Kata kamu, dalam hubungan kita, kita harus saling jujur. Kamu ga jujur. Kamu percaya kan kalo aku cinta kamu. Kamu percaya kan kalo aku ga akan ninggalin kamu dengan keadaan kamu yang seperti ini. Aku minta maaf, ga nyadar dari dulu. Aku percaya kamu udah jahat sama aku. Kamu pasti kecewa. Demi Tuhan, jangan tinggalin aku. Kamu belum bilang kalo kamu sayang aku,” ratapku histeris. Tante Rita tak kuasa melihatku, beliau kemudian meninggalkan kami berdua.
Sepanjang hari itu, aku menemani Yoga. Aku bercerita tentang setahun yang aku lewati tanpanya. Betapa hari-hariku terasa berat tanpa merasakan mencintai dan dicintai. Bagaimana aku selalu menangis apabila teringat padanya. Aku curahkan semua isi hatiku padanya yang hanya terbaring diam membisu. Berkali-kali aku katakan bahwa aku mencintainya.
“Kamu harus sembuh, Ga. Kamu belum minta maaf secara langsung sama aku. Kamu juga belum bilang kalo kamu sayang ma aku,” aku tertunduk lemah di sampingnya. Hatiku berkecamuk, penuh dengan amarah dan cinta yang membaur.
Di saat aku tertunduk di sisinya itu, aku melihat secarik kertas yang menyembul di balik bantal yang ditidurinya. Kutarik sehelai kertas itu. F*N*. Kertas itu yang dulu aku berikan padanya saat dia meminta namaku. Di baliknya, ada tulisan tangan Yoga.
LEBIH DARI YANG KAU TAU.
MAAF, AKU TAK BISA MENGATAKANNYA SECARA LANGSUNG PADAMU.
SAMPAI DI KEHIDUPAN BERIKUTNYA, CINTAKU SELALU UNTUKMU.
MAAFKAN AKU.
YOGA
Air mataku jatuh. Kertas ini menjawab semua pertanyaanku. “Aku telah memaafkanmu, Ga. Aku juga cinta kamu. Amat sangat…,” aku berbisik lirih di telinganya.
Monitor deteksi jantung menunjukkan garis lurus. Aku berteriak histeris memanggil dokter. Dokter kemudian datang untuk memeriksa keadaan Yoga. Aku dan Tante Rita menunggu dengan cemas di luar ruangan. Tak lama kemudian, dokter keluar dan mengabarkan bahwa Yoga telah tiada. Yoga yang kucintai. Yoga yang penuh dengan kejutan. Yoga yang memiliki cinta yang teramat tulus. Dia telah pergi… membawa cintaku yang terdalam. Dia telah mengajarkan padaku arti mencintai dan dicintai dengan sebenar-benarnya.
Selamat jalan, sayang. Kau tau, dirimu tak akan pernah tergantikan di hatiku. Selalu, aku dan kau. Untuk terakhir kalinya aku mengecup kening Yoga.