Thursday, February 9, 2012

Amazing Fanka

Weekend lalu saya dan beberapa rekan kerja beserta beberapa pasangan mereka mengadakan kegiatan bersama yaitu rafting, yang biasa disebut arung jeram, di Sungai Citatih daerah Sukabumi. Itu adalah kali perdana saya mengikuti kegiatan rafting.

Wacana rafting ini sebenarnya sudah lama kami rencanakan, tetapi selalu saja mengendap dan kemudian terlupakan. Hingga akhirnya seorang teman mengabarkan bahwa ia baru saja mengikuti kegiatan rafting yang diadakan oleh tempat dimana istrinya bekerja, menggunakan jasa EO yang cukup recommended. Berbekal informasi itulah akhirnya kami mulai serius lagi mematangkan rencana tersebut.

EO telah ditunjuk, lokasi ditetapkan, dana terkumpul, dan diputuskan bahwa kegiatan akan dilaksanakan pada hari Sabtu kemarin, 4 Februari. Paket yang kami pilih yaitu paket rafting berjarak 13 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Setelah memastikan bahwa semua peralatan untuk keamanan telah terpasang dengan baik, ketua pemandu rafting memberikan safety briefing dalam kegiatan rafting.

Saya menempati boat bersama 4 orang rekan ditemani oleh seorang pemandu yaitu Mas Sanusi. Sebelum kegiatan dimulai, pemandu rafting di tiap-tiap perahu memberikan instruksi dan mengajak kami mempraktikannya. Setelah merasa paham dengan setiap instruksi yang diberikan, perahu mulai dilepas bergerak mengikuti arus sungai, perlahan tapi pasti. Sesekali kami diberikan aba-aba mendayung untuk mengatur arah perahu agar lebih terkendali. Satu persatu jeram kami lalui dengan pacuan adrenalin yang bagi saya cukup ekstrim.

Walau bisa berenang dan memakai peralatan keselamatan yang lengkap, saya tetap kurang bisa santai selama pengarungan. Salah satu cara ampuh untuk mengatasinya adalah dengan berteriak sekuat tenaga setiap melewati jeram. Dan cara tersebut ternyata ampuh karena rekan-rekan saya yang lain mengira saya begitu menikmati.

Ketika akan melewati satu jeram yang cukup ekstrim, kami diberikan peringatan agar nantinya mempraktikkan aba-aba 'BOOM', yaitu duduk berkumpul di dasar perahu untuk menjaga keseimbangan dari pengaruh arus yang sangat liar. Ketika melewati jeram tersebut, perahu kami mengalami lonjakan yang cukup keras, sehingga cukup banyak air yang masuk ke dalam perahu kami. Seru memang, tapi tetap saja bagi saya yang agak fobia dengan perairan membuat beberapa detik itu menjadi sangat menegangkan.

Selama pengarungan, tim kami tidak mengalami kejadian yang heboh. Ada beberapa tim lain yang mengalami perahunya terbalik. Tetapi regu penyelamat selalu siap siaga sehingga tidak ada kejadian fatal.

Tidak terasa, pengarungan telah berjalan selama 3 jam dan akhirnya kami semua kembali berkumpul di meeting point. Ketika mandi, saya melihat beberapa bagian tubuh saya mengalami memar. Memang selama pengarungan, karena kurang santai mengakibatkan badan saya kaku sehingga tabrakan dengan pinggir perahu karet ketika perahu terguncang saja terasa sakit. Tetapi, secara keseluruhan, acara rafting kami itu sangat berkesan dan benar-benar memuaskan hasrat untuk berpetualang.

Hari Senin, 2 hari setelah kegiatan tersebut berlangsung, saya melihat satu tweet di timeline saya yang menyatakan bahwa seorang mahasiswa yang kebetulan satu almamater dengan saya dikabarkan hilang pada saat mengikuti kegiatan arung jeram di daerah Garut. Berawal dari rasa penasaran, saya mencari mention yang ditujukan untuknya. Banyak sekali mention yang menyebutkan namanya, dan saya telusuri setiap informasi yang tercantum.

Mungkin karena beberapa hari sebelumnya saya juga melakukan kegiatan yang sama membuat saya merasa lebih aware dengan peristiwa ini. Tanpa crosscheck berita dengan rekan yang lain, saya telusuri sendiri segala berita mengenai dirinya.

Malam harinya, saya menghabiskan waktu bertukar pikiran dengan papi yang sedang berkunjung ke Jakarta sehingga sempat lupa akan peristiwa yang menimpa Fanka. Akan tetapi, ketika akhirnya papi pun kemudian tertidur, saya kembali sendiri dan lamunan saya lagi-lagi mengarah pada Fanka.

Beberapa jam lamanya saya tetap terjaga, mengumpulkan satu-persatu berita, berharap pada datangnya berita baik. Saya menghibur diri dengan membayangkan bahwa mungkin saja ia hanyut dan kemudian tersangkut akar pohon di pinggir sungai dalam keadaan pingsan dan kemudian ditolong oleh penduduk lokal yang jauh dari sumber informasi, diberikan perawatan sehingga ia kembali pulih. Akhirnya, sekitar pukul 2 dini hari saya terkapar dengan sendirinya karena memang cukup lelah.

Ketika bangun keesokan paginya, HP masih ada dalam genggaman dan hal pertama yang saya cari tahu adalah berita terbaru mengenai dirinya. Belum ada berita yang menenangkan tetapi saya tahu bahwa sangat banyak orang yang peduli dan turut mendoakan agar dirinya kembali ke rumah dengan selamat.

Sore harinya, sepulang dari kantor, saya mengantar papi ke bandara. Saat di taksi dalam perjalanan menuju bandara, saya lebih banyak melamun. Sesekali saya tersadar dari lamunan dan menjawab pertanyaan atau menimpali obrolan papi. Dari jendela taksi, saya melihat matahari yang [saat itu] cahayanya menurut saya indah. Saya sempat membatin, indahnya ga kalah dengan sunset yang pernah saya saksikan di beberapa pantai. Pasti indah dan membahagiakan kalau dek Fanka juga bisa melihatnya.

Sesampainya di bandara, papi check-in kemudian ngajak makan bareng. Beres makan, papi nyuruh saya langsung pulang aja, biar ga kemaleman nyampe rumah katanya. Suasana hati yang sudah mellow bertambah mellow pula dengan momen perpisahan itu. Susah payah saya menahan tangis dengan beragam alasan seperti gengsi, malu, jaim, dan terlebih karena ga pengen papi juga ikutan sedih.

Saya berhasil menahan tangis dan kemudian menuju loket penjualan tiket DAMRI untuk pulang. Duduk sendiri di dalam bis yang masih sepi, lagi-lagi lamunan saya mengarah pada Fanka. Ada perasaan ingin tahu tetapi juga takut apabila harapan saya tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi akhirnya saya putuskan untuk membuka twitter dan menelusuri berita terbaru tentangnya. Ketika mention tentangnya telah terbuka, tweet yang terbaca adalah RIP @angelinayofanka.

Entah rasa haru itu datang darimana atau mungkin karena akumulasi dari segala hal tertahan yang belum terlepaskan, airmata yang sebelumnya selalu bisa saya tahan menjadi tak terbendung. Kali itu saya biarkan saja airmata tumpah ruah, berharap agar segala kegundahan juga bisa hilang seiring dengan keringnya airmata itu nantinya.

Angelina Yofanka. Saya hanya tahu namanya dan itu pun baru hitungan hari. Tetapi kabar kepergiannya menimbulkan duka yang mendalam, dan saya yakin bukan karena latah atau kepo semata. Dari sekian banyak informasi yang saya tahu, berujung pada kesimpulan bahwa dia pastilah orang yang sangat baik dan mengagumkan karena terbukti, sangat banyak sekali orang yang menyayangi dan mencintainya. Pun banyak hal-hal menakjubkan yang tercipta oleh seorang Fanka. Setiap membaca mention tentangnya, seringkali saya merinding. Betapa mengagumkan pribadi seseorang sepertinya. Seorang Angelina Yofanka bisa menyatukan massa sedemikian besar dan membuat perubahan yang menakjubkan. Pastilah karena ia orang yang spesial. Karena itu pula Tuhan memanggilnya lebih cepat. Karena ia spesial.

Sang pencinta alam kembali ke pangkuan-Nya dalam pelukan alam yang dicintainya.

RIP Angelina Yofanka.

Monday, February 6, 2012

[Never-Ending] Self-Introspection

Teman: Pernah ga sih kakak tuh tau kalo kakak jahat sama temen kakak, tapi kakak masa bodoh, tetep aja jahat ma dy?
Saya : Ya pernah, lah, retoris itu sih
Teman : Maksudku, kaya di sinetron-sinetron gitu, kakak jadi tokoh antagonis, mendzhalimi orang, hehe..
Saya
: *mikir bentar* Pasti pernah, tapi bentar deh aku inget-inget dulu, ya.. Nah, kamu?

Teman
: Mmm.. kalo aku sih seringnya jadi yang dizhalimi, kak..

Saya
: Ahaha.. Kok curhat? Canda..

bla bla bla..


***

Beranjak dari percakapan itu, saya teringat satu cerita yang lagi-lagi terjadi sewaktu saya di SMA dulu (never dies lah cerita masa SMA mah).

Jadi, karena saya tinggal di asrama, untuk periode kelas 1 dan 2, setiap 6 bulan sekali, kami menempati kamar yang berbeda, tentunya dengan komposisi teman sekamar yang berbeda pula. Begitu naik kelas 3, dengan alasan agar tidak mengganggu aktivitas belajar, tidak ada pergantian kamar, jadilah kami harus menempati kamar yang sama hingga akhir periode kelas 3 dengan teman sekamar yang tetap sama juga.

Waktu itu saya sekamar dengan YI, ADC, dan LNP. Ketiga teman sekamar saya ini overall asyik-asyik dan baik-baik semua. Walau sesekali terjadi selisih pendapat, tapi hal-hal itu bisa dianggap hanya sebagai bumbu pelengkap pertemanan, intinya mah masih asyik-asyik saja.

Blame on broken-hearted, sewaktu kelas 3, saya menjadi pribadi yang lebih tertutup, lebih masa bodoh dan apatis (kurang peka terhadap sekitar), menyebalkan karena terkungkung dalam drama menyedihkan yang saya ciptakan sendiri, dan berujung pada high-temper. YI dan ADC udah kebal dengan kelakuan saya yang suka seenaknya, karena mereka bisa dan berani protes apabila saya udah kelewatan ngeselinnya. Lain halnya dengan LNP yang lebih pendiam dan kalem, dia lebih sering sabar dan ngalah menghadapi saya. Karena merasa di atas angin, jadilah saya makin semena-mena. *eh tapi, jangan membayangkan hal yang berlebihan juga ya, karena saya ga se-antagonis itu juga sih, hehe..*

Setiap hari kami diwajibkan untuk menjaga kebersihan dan kerapihan kamar. Karena itu, tiap kamar mempunyai jadwal piket masing-masing, siapa yang menyapu dan mengepel lantai, siapa yang mencuci peralatan makan yang kotor, siapa yang bertanggung jawab terhadap kebersihan balkon kamar, dan siapa yang kebagian giliran untuk membersihkan kamar mandi. Pembagiannya kurang lebih seperti itu.

Waktu itu giliran saya menyapu lantai. Saat saya beres nyapu dan sumringah melihat lantai yang udah kinclong, tiba-tiba LNP pindah ke depan cermin untuk menyisir rambut dan beberapa helai rambutnya jatuh ke lantai. Tanpa babibu, saya bentak dia dengan kasar dan tak terputus. YI dan ADC yang juga melihat kejadian itu hanya diam saja, bukan karena segan kepada saya, tapi karna males ribut, tahu bahwa hanya debat kusir jadinya kalo diterusin berdebat.

Malam harinya, kami semua belajar bareng karena waktu itu memang lagi musim ujian. Seakan ga inget kalo saya udah jahat ama dia (dan emang saya juga belum minta maaf), seenaknya aja saya nyontek jawaban PR dari dia yang udah beres dia kerjain sampai begadang. Duh, kalo diinget-inget lagi, maluuu banget. Seandainya saya yang jadi LNP, mana mau saya diperlakukan semena-mena seperti itu. Di lain waktu, LNP pernah sakit dan saya lupa membawakan makanan untuk dia. Seingat saya, waktu itu saya lagi sebal sama dia, dan tanpa merasa bersalah karena malah teman dari kamar lain yang akhirnya membawakan makan, saya cuek aja masuk kamar dan sibuk sendiri. Ah, cukup banyak hal jahat lainnya yang saya perbuat pada LNP, tapi dia ga berubah, tetep aja ga ngelawan. Kalopun dia sesekali protes, hampir ga pernah saya pedulikan. Masa bodoh pisan!

Sampai pada saat menjelang kelulusan, saat seluruh kelas 3 sebentar lagi akan meninggalkan asrama, akhirnya ada momen dimana kami berkesempatan untuk berbicara cukup lama, yang tadinya hanya obrolan sampah haha-hihi, kemudian menjadi serius saling bertukar isi hati. Saya lupa bagaimana persisnya ceritanya, tapi at the end, dia bilang, bukannya dia takut atau segan melawan setiap kali saya berlaku kasar. Dia hanya ga ingin memperpanjang masalah. Sempat beberapa kali dia cukup terluka dan bahkan sempat menangis (yang ga pernah saya sadari), tapi dia tetep kalem dan lempeng aja di permukaan. Yang kemudian membuat saya menangis sesenggukan, dia bilang kalo dia beranggapan bahwa sebenarnya saya ga sejahat itu, cuma karena lagi banyak masalah aja makanya jadi temperamen. Dia ngingetin kebaikan-kebaikan saya, as simple as that, ngasi saran supaya saya ga terlalu menenggelamkan diri dalam drama patah hati akut, dll dsb.

Saat itu saya sakit hati, bukan karena orang lain, tetapi karena saya sendiri. Ketika tiba waktunya kesadaran itu datang, sesal bertubi-tubi itulah yang menusuk-nusuk hati saya, nyampe nangis pun ga bisa bersuara. Ah, luar biasa nyesel lah pokona mah. If only I could turn back time, waktu itu saya sungguh berharap diberi kesempatan untuk mengulang waktu, memperbaiki diri sedari awal agar pada akhirnya ketika menemui perpisahan, kesan tentang yusi yang tertanam di diri teman-teman saya sebisa mungkin lebih banyak kesan-kesan yang menyenangkan.

Beruntung, selama 3 tahun itu, saya hidup di tengah-tengah teman-teman yang hampir semuanya ga berbakat jadi orang jahat. Kalau dibandingkan dengan cerita-cerita remaja sekolah saat ini, misalnya senior menggencet junior atau kejahatan-kejahatan lainnya, saya ga pernah mengalami dan ga pernah menemukan di masa saya SMA. Yah, pastinya selalu ada konflik, intrik, dan masalah, tapi kalo saya bahasakan kira-kira seperti ini: jahatnya masih cupu dan ga kreatif :)

Friday, February 3, 2012

What Friends Are For

Rasa-rasanya saya belum pernah mendengar, ada yang ga butuh teman di dunia ini. Dengan kata lain, semua pasti butuh. Kadarnya beragam, apakah itu teman akrab, teman baik, teman biasa, atau teman yang cukup 'nice to know' saja, atau malah teman di dunia maya yang mungkin ga pernah berinteraksi langsung, hanya say hello sesekali, you name it lah.

Salah satu cerita yang cukup membekas di hati saya mengenai pertemanan adalah cerita di waktu SMA, saat baru beberapa bulan memakai seragam putih abu-abu. Saat itu saya cukup cepat membaur, di antaranya adalah dengan [sebut saja] O dan P. Karena didukung dengan kebersamaan yang hampir 24 jam sehari, jadilah kami cepat akrab satu sama lain.

Di tengah-tengah keakraban yang baru terjalin itu, ada peristiwa dimana seorang senior menjodoh-jodohkan saya dengan senior saya yang lain (sebut saja F). Karena cukup dekat dengan O dan P, saya tahu bahwa sebenarnya O diam-diam menyukai F. Di satu sisi, saya takut akan merusak pertemanan saya terlebih dengan O, tetapi di sisi lain saya ga bisa menyangkal perasaan saya yang mulai tumbuh pada F. Jalan tengahnya, saya kalem saja menunggu aksi apa yang akan dilancarkan oleh F terhadap saya.

Seperti yang sudah saya duga (dan saya harapkan pada saat itu), akhirnya F menyatakan perasaannya pada saya walaupun menggunakan jasa pihak ketiga. Tanpa pikir panjang, resmilah kami terikat status pacaran. Saya lupa bagaimana persisnya kejadian itu, tetapi akhirnya O tahu dan sungguh melegakan bahwa dia sama sekali tidak keberatan. Dengan kepolosan saya, saya anggap itu benar-benar sesuai dengan isi hatinya, she was just fine.

Beda halnya dengan P. Begitu ia tahu bahwa saya jadian sama F, sikapnya berubah drastis, yang semula kami berteman akrab kemudian menjadi from somebody to nobody. Segala ketidaksukaannya pada saya terang-terangan ia tunjukkan, selalu dengan mengungkit soal hubungan saya dengan F. Waktu itu belum ada yang namanya media sosial sehingga bentuk ketidaksukaannya secara langsung ia tunjukkan di depan saya. Saya yang tadinya maunya kalem aja, menjadi terbakar emosi sehingga menjadi kalap dan ikut membencinya.

Kondisi itu berlangsung selama 1 tahun lebih. Teman-teman yang berada di antara kami pun menjadi bingung menentukan sikap di tengah kejadian panas itu. Beruntung teman-teman yang lain bersikap cukup netral sehingga tidak tercipta gap atau kubu. Hal ini menjadi salah satu hal yang terus saya kenang hingga saat ini mengenai arti berteman, entah karena memang di jaman dulu kami masih sangat sepolos itu atau istilah backstabber memang belum terkenal, sehingga saya hampir tidak menemukan teman seangkatan yang bergunjing dan menghasut di belakang. Kalopun ada, berarti saya melewatkannya dan Alhamdulillah untuk itu :)

Sampai pada suatu saat, saya dan P terpaksa harus bareng, saat akan pesiar keluar asrama. Transportasi dari depan asrama hingga pinggir jalan raya pada waktu itu sangat jarang sehingga salah satu jalannya adalah dengan menumpang mobil jemputan teman. Biasa kami juga ikut sampai rumah mereka untuk sekalian berganti pakaian biasa.

Waktu itu saya bersama teman yang lain kurang lebih sekitar 5 atau 6 orang. Sepanjang perjalanan, suasananya kurang nyaman karena ketika saya terlibat dalam pembicaraan maka si P akan diam saja. Begitu P yang terlibat, gantian saya yang terkucilkan. Hari itu adalah waktu dimana kami berada dalam satu tempat dalam waktu yang cukup lama. Saya lebih banyak diam, memperhatikan ia bercanda gurau dengan teman yang lain.

Saat itu, jujur, saya cukup merasa kehilangan. Karena saling menghindar satu sama lain, praktis saya tidak begitu memperhatikannya. Sikapnya memang menyebalkan, tetapi ia melakukan itu beralasan, atas dasar peduli kepada O yang terdzhalimi oleh perbuatan saya, bukan karena hal lain. Dan segala bentuk kebenciannya itu memang nyata ia tunjukkan dengan menyebutkan alasannya dan pada saat itu kalo dipikir-pikir emang ga ada salahnya. Toh ia tidak selamanya bersikap menyebalkan, hanya di saat-saat tertentu, ketika saya sedang terlihat bersama F atau ketika ada sesuatu yang menyangkut F di dalamnya. Sisanya, dia hanya mendiamkan saya saja. Berhubung waktu itu saya masih terjangkit virus gengsi tingkat tinggi dan enggan untuk meminta maaf (lagi), akhirnya kesadaran itu hanya mengendap begitu saja, tanpa ada realisasi, tanpa ada aksi.

Sesampainya di rumah teman saya, segera kami menanggalkan pakaian dinas dan berganti dengan pakaian layaknya remaja biasa. Rencana semula, kami akan jalan misah-misah tetapi akhirnya diputuskan untuk jalan bareng.

Sewaktu di mall, saat sedang jalan dan asyik bercanda di kerumunan, tiba-tiba P berteriak pada saya dan menunjukkan bahwa dompet saya jatuh. Satu kejadian kecil itu lantas membuka tabir nilai positif P yang selama ini tertutupi oleh kelamnya mata hati saya yang dikuasai oleh emosi yang beralasan sangat dangkal.

Saya lantas berterimakasih padanya. Beberapa detik kami saling berpandangan awkward, dan dengan kekuatan yang berhasil mengalahkan rasa gengsi, saya menjabat tangannya dan meminta maaf untuk semua hal yang pernah menyakitinya. Reaksinya persis seperti yang saya duga (dan juga saya harapkan), ia membalas genggaman tangan saya lebih erat dan tersenyum awkward. Tembok tinggi yang tak sadar selama berbulan-bulan terbangun, perlahan runtuh. Sakit hati yang tertimbun tinggi kemudian hilang, berganti dengan perasaan haru luar biasa. Benar-benar satu titik balik untuk kami memulai kembali pertemanan yang sempat luntur. Kelegaan yang saya rasakan saat itu seingat saya mungkin lebih besar dibanding kelegaan ketika mengetahui bahwa F memiliki perasaan yang sama dengan saya. Setelah acara jalan-jalan tersebut berakhir, kami sempatkan untuk hanya berdua saja mengenang dan sedikit membahas mengenai permasalahan di antara kami selama setahun sebelumnya. Betapa banyak waktu yang kami buang percuma, betapa banyak momen yang kami lewatkan, hanya karena menghamba pada gengsi dan emosi.

Sekarang, hubungan saya dan P, walau terbilang tidaklah begitu istimewa, tetapi ketika mendengar namanya ditanyakan kepada saya, daripada menjawab, 'Oh ya, dia teman SMA saya', saya akan lebih memilih menjawab, 'Oh, ya, saya kenal baik. Dia teman saya. Kami berteman sejak SMA... bla... bla... bla...'

Saya berpendapat bahwa berteman baik bukan berarti mengenai kecocokan atau kemiripan up to 99.99% (karena ga mungkin ada yang sempurna 100%). Pun dengan ketidakcocokan 99.99% tidak lantas masuk kategori bukan teman. Berteman baik bukan juga dengan frekuensi kebersamaan yang tinggi. Pun dengan kebersamaan yang minim, bukan berarti tidak bisa dikatakan berteman baik.

Dari sekian pengalaman yang ada, seorang teman akan mengingatkan apabila temannya melakukan kesalahan. Karena manusia itu diciptakan berbeda-beda, karena itu pula caranya beragam, ada yang mengingatkan dengan halus dan sabar, ada pula yang mengingatkan dengan keras dan menyakitkan, seperti yang saya ceritakan di atas. Tetapi setelah dibandingkan dengan kejadian dimana kesalahan yang mungkin kita perbuat tidak langsung dikoreksi melainkan dijadikan bahan untuk menjatuhkan kita di depan orang lain, hal ini jauh lebih sangat mengecewakan dan menyakitkan sehingga bukannya merasa sakit melainkan mati rasa. Apalagi yang lebih buruk daripada tidak bisa merasakan apa-apa? Hilanglah sudah satu komponen yang memanusiakan kita, CIPTA , [tidak ada] RASA, dan KARSA.

Intinya, ada 3 komponen utama. Orang yang mengingatkan, orang yang diingatkan, dan yang paling penting ada pesan yang disampaikan. Ketika kita menjadi orang yang mengingatkan dan merasa telah mengirimkan pesan dengan cukup jelas kepada orang yang harus diingatkan, hasil akhir apakah orang yang diingatkan ini akan menerima atau tidak, kembali kepada kelapangan hatinya untuk menerima masukan dari orang lain.

Seorang teman bukanlah malaikat. Tetapi seorang teman juga seharusnya bukan iblis. Ada kalanya seorang teman tidak bisa memenuhi kapasitasnya sebagai seorang teman, dan di saat itulah seharusnya kita bisa menjadi teman pula untuknya. Saya pun masih menggali arti pertemanan yang sebenar-benarnya dan keinginan saya adalah untuk lebih menghargai dan menjaga pertemanan yang telah terjalin, dengan siapapun itu.

Wednesday, February 1, 2012

What's Your [Hidden] Purpose?

Banyak yang mengatakan bahwa, belajar dari kesalahan itu sangat berharga. Kesalahan yang ingin saya bahas di sini buat saya pribadi adalah marah-marah atau misuh-misuh atau sebal atau ga suka -atau apapun itu lah ya- kepada seseorang tapi ga langsung nyampein ke orangnya, malah cerita ke orang lain atau yang lagi ngetrend sekarang misalnya memanfaatkan jejaring sosial dengan hashtag #nomention. Lain cerita yah kalo pake hashtag #nomention untuk sesuatu yang arahnya cenderung positif atau bahasa sederhananya, tidak akan menimbulkan masalah bagi pihak lain.

Honestly, dulu saya terhitung cukup sering melakukan hal ini. Kalo lagi sebel sama -sebut saja- si A, tapi karena ga berani ngomong langsung, jadinya melampiaskan di jejaring sosial, entah itu plurk, twitter, facebook, status YM, dll, dsb. Kalo saya lihat kembali ke belakang, daripada puasnya, saya lebih banyak ngerasa nyesel.

Pernah suatu waktu, akibat status saya di twitter, berakhir pada pertengkaran yang cukup sengit dan melibatkan cukup banyak pihak (malah sempat ada wacana mau dibawa ke jalur hukum). Walau pada akhirnya, permasalahan itu selesai dengan cukup damai, tapi tetep aja, ada history yang tidak menyenangkan.

Saya ambil contoh yang paling gampang, yaitu di twitter (karena media ini yang lagi nge-trend dan emang lagi seneng-senengnya saya pantau). Selama beberapa waktu saya amati dan akhirnya saya buat sendiri beberapa asumsi.

Beberapa orang yang misuh-misuh atau protes dengan suatu content yang pribadi itu sebenarnya sebal atau marah kepada seseorang di list follower-nya dengan tujuan agar terbaca oleh yang b ersangkutan (lah, trus kenapa?). Emang mau berharap following action apa? Bakal mengurangi kekesalan? Saya yakin, hampir tidak. Kalo ternyata bukan kepada follower, mungkin kepada teman si follower. Kalo bukan juga, mungkin sebagai bentuk protes ke pemerintah atau suatu lembaga atau apapunlah itu yang memang karena cukup sulit untuk menjangkau obyeknya, akhirnya hanya bisa marah-marah atau misuh-misuh doang, dan saking stuck-nya jadi ingin release beban hati atau uneg-unegnya. Intinya, selain hal terakhir yang saya sebutkan di kalimat sebelumnya, tweet seperti itu hampir selalu punya tujuan tersembunyi (yang hanya Tuhan dan dia yang paham).

Padahal, yah, kalo mau dipikir dengan sangat jernih, akan sangat jauh lebih baik kalo kekesalan atau kemarahan itu langsung disampaikan kepada yang bersangkutan (jika memungkinkan), dengan bahasa dan penyampaian masing-masing. Kerugian (moriil) yang akan ditanggung akan jauh lebih kecil dibanding apabila hanya mengumpat-ngumpat dan mengumbar-ngumbar tanpa kejelasan siapa yang dituju.

Sebagai contoh, saya pernah membaca tweet seseorang yang saya follow. Entah karena saya merasa terlalu cerdas dalam menginterpretasi atau memang tingkat ke-sotoy-an saya cukup tinggi, jadilah saya merasa tweet tersebut ditujukan untuk saya. Berhubung orang ini adalah teman baik saya, jadilah saya cukup terganggu selama beberapa waktu, hingga hitungan minggu. Semakin lama saya semakin merasa terganggu sehingga akhirnya karena gelisah, saya menanyakan langsung kepada teman saya itu, apakah saya yang dimaksud dalam tweet dia. Dan ternyata kecurigaan saya salah mentah-mentah. Selama beberapa minggu, i was just keep wondering, dan ternyata itu bukan ditujukan untuk saya. Teman saya pun ternyata mempertanyakan, kenapa saya jadi lebih tertutup, dan bahkan mengira saya yang sedang tidak ingin bersosialisasi dengannya. Complicated, huh?! Sederhana, tapi kalo saya ingat lagi kerugian moriil yang saya derita, betapa saya telah menghabiskan cukup banyak waktu dan energi untuk 'just keep wondering' yang sebenarnya ga perlu.

Contoh lain, saya lagi-lagi membaca tweet seseorang yang juga saya follow (sebut saja A). Kali ini saya sangat yakin, bahwa tweet tersebut ditujukan untuk seseorang yang dekat dengan saya (sebut saja X), berdasarkan keadaan yang sedang terjadi. Tadinya saya ga ambil pusing. Tetapi beberapa waktu kemudian, waktu saya lagi bareng X, hingga kemudian tercetus suatu cerita, saya kait-kaitkan kejadian tersebut dengan tweet si A, oh ternyata memang benar bahwa obyek dari tweet si A tersebut tak lain tak bukan adalah X, yang mana X sendiri tidak merasakan sesuatu yang salah atau berarti dengan kejadian tersebut. Dari cerita yang rumit ini, akan jadi jauh lebih sederhana (dan mungkin win-win solution) apabila A dengan berani langsung menyatakannya pada X. Respek saya pada A pun honestly terjun bebas walau hal tersebut bukan dalam kapasitas saya. Kalo saya analogikan, apa rasanya sih pup setengah-setengah. Ga sakit apa, ya? *i'm talking to myself, too, karena saya pun masih sedang dalam usaha untuk memperbaiki diri*.

Dari paragraf di atas, saya akui memang kontradiktif, yang ujung-ujungnya kok saya jadi ngomongin orang juga. Hal ini saya bahas sebagai contoh atas penjelasan saya di awal tadi, dengan tujuan, hopefully, bagi siapa pun yang pernah mengalami kejadian serupa (dan saya juga), bahwa 'begini loh contoh nyata akibatnya' dan akan sangat jauh lebih baik kalo jujur-jujuran aja, deh, ketimbang bersikap pura-pura biasa saja tetapi hati menjerit tak suka? Analogi lainnya, mau ngelempar batu ke orang, tapi cuma ngenain bayangannya aja. Apa bakal membuat si obyek sadar dan bahkan merasa sakit? Beda ceritanya jika emang beneran ngelempar batu ngenain si obyek. Mungkin si obyek bakal marah, bakal nanya, 'kenapa kamu ngelempar saya pake batu?', tetapi kita bisa menjelaskan duduk perkaranya bahwa, 'iya, aku ngelempar kamu biar kamu tau kalo bla bla bla' --> Ada komunikasi dua arah yang terjalin sehingga at least akan ada kejelasan, terlepas dari baik atau buruknya penjelasan itu, dan yang paling penting, akan ada juga following-action dari hal tersebut.

Saya lihat lagi timeline twitter saya sendiri, cukup banyak tweet-tweet saya yang terselubung. Kalo mau jujur, tweet-tweet itu pengen saya hapus, karena biasanya emang baru ngehnya telat, malah menunjukkan 'kedangkalan' hati saya. Tapi, tetap akan saya biarkan seperti itu, karena kalo diliat-liat lagi, jadi inget, kalo saya pun masih dalam tahap berusaha untuk meredam, menahan, dan menjadi netral, dan agar tidak melakukan hal serupa di kemudian hari.
Mengutip pesan dari orang bijak, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. I'll try my best.