Senin, 28 Mei 2012 pukul 14.36 kemarin saya menerima telepon dari seseorang yang mengaku bekerjasama dengan Visa/Mastercard yang kemudian memberikan info panjang lebar mengenai benefit yang saya dapatkan sebagai nasabah kartu kredit Visa/Mastercard ‘tanpa cacat’ (dia tidak menyebutkan bekerjasama dengan bank yang spesifik, hanya terus-terusan menekankan soal Visa/Mastercard).
Karena saya lagi ribet banget di kantor, baru aja balik dari training selama seminggu, praktis utang kerjaan lah yang saya prioritaskan ketimbang melanjutkan pembicaraan. Saya nggak tertarik sama sekali... pada awalnya. fyuh.
Kronologisnya sebagai berikut..
Di awal dia menyebutkan nama saya, menanyakan nomor telepon yang aktif dihubungi dan kartu kredit apa saja yang saya miliki. Dia menawarkan fasilitas berupa benefit keanggotaan sebagai nasabah pemegang kartu kredit Visa/Mastercard berupa voucher menginap di hotel berbintang yang bekerjasama dengan mereka dan voucher 1x penerbangan one way ke rute mana saja (kecuali menggunakan Garuda Indonesia) yang berlaku selama 5 tahun, dan langsung aktif pada saat kesepakatan nantinya telah dilakukan.
Di awal saya udah menolak tapi dia bersikukuh bahwa penawaran ini bukanlah suatu promo melainkan fasilitas yang sudah menjadi hak saya dan akan sangat sayang sekali untuk dilewatkan. Suara si mbak penelepon yang renyah dan keramahannya membius saya untuk tetap meladeninya di telepon.
Dia kemudian menanyakan kartu kredit apa saja yang saya miliki dengan limit berapa saja. Waktu itu saya jawab, saya punya kartu kredit *RI yang merupakan kartu tambahan dari orangtua saya dengan limit sejumlah X juta *di sela-sela pembahasan ini, dia sempat bertanya, "oh, berarti limit kartu kredit orangtua ibu lebih banyak yah daripada limit kartu kredit ibu sendiri?"*. Setelahnya, dia menanyakan apakah saya punya kartu kredit lain? Saya jawab, saya baru aja apply kartu kredit M*ga Car*e**** tapi gatau persis berapa limitnya. Niat saya bikin kartu itu juga ga bisa dibenarkan karena rencananya begitu kartunya jadi, bakal saya biarin aja ga diaktivasi biar mati sendiri, toh tanpa dipungut iuran tahunan juga. Cerita kenapa bisa apply kartu itu juga karena begitu keluar dari kasir Car*e****, ada pria yang mendatangi saya dan dengan kepiawaiannya bermain kata menyebabkan saya iya-iya aja.
Kembali ke pembahasan soal kartu kredit saya yang aktif, dia menanyakan masa berlaku kartu saya hingga kapan dan apakah pada saat itu saya sedang membawa kartu saya. Saat itu saya emang lagi bawa kartunya ke kantor. Tapi saat makan siang dengan pacar di Ratu Plaza, dompet saya titipkan pada pacar saya karena dia lagi bawa tas kecil dan lupa saya ambil lagi begitu udah balik ke kubikel. Dia juga menanyakan alamat pengiriman tagihan saya.
Ketika saya udah menunjukkan sedikit ketertarikan dengan fasilitas yang ditawarkan, dia menanyakan apakah saya bersedia menerima penawaran itu dan bersedia membayar biaya administrasi sejumlah Rp1.999.999,- yang hanya akan ditarik sekali saja dan itu pun bisa dicicil sebanyak 10x *pada saat itu saya dengernya bukan Rp1.999.999,- melainkan Rp200.000,- (lumayan banget kan kalo Rp200.000,- bisa dicicil sebanyak 10x)*. Pembayaran biaya administrasi akan dilakukan pada saat kesepakatan telah ditetapkan melalui penggesekan kartu kredit pada alat autorisasi yang akan dibawa kurir ke tempat saya.
Dari awal saya bermaksud untuk mendengarkan saja dulu penjelasan dari kurir yang nantinya akan datang ke kantor biar pemahamannya lebih jelas. Kondisi saya saat berbincang dengan penelepon lagi ribet banget jadi iya-iya aja melulu. Konsentrasi saya juga udah terpecah tapi ga cukup tega untuk memutuskan pembicaraan di telepon karena ya emang gitu lah ya tipikal orang marketing, ngecapnya jago, bisa membuai dan ‘menghipnotis’ lawan bicaranya ditambah pula tipikal saya yang sungkan-an.
Setelah kesepakatan dilakukan *akibat saya iya-iya aja*, dia memberitahu bahwa kurirnya akan segera mengantarkan dokumen-dokumennya kepada saya. Pembicaraan berakhir tetapi pada pukul 15.04 WIB, seorang pria menelepon saya dan mengaku sebagai manajer dari wanita yang baru saja menelepon saya. Karena emang baru bentar banget ditelepon oleh wanita pertama, saya ngeh kalo si wanita marketing itu yang dimaksud.
Pria ini bertanya apakah penjelasan yang diberikan oleh wanita sebelumnya sudah cukup jelas atau tidak. Saya iya-iya aja *lagi-lagi untuk menghemat waktu*. Dia kemudian menjelaskan sekali lagi secara singkat dan padat dan bertanya lagi apakah sudah sangat jelas. Ya tetep aja saya masih iya-iya. Dia bilang, kurirnya akan datang ke kantor saya sekitar jam 5 sore *sebelumnya saya yang bilang, kalo emang mau dateng, sebaiknya jam 5 aja karena di atas jam 5 biasanya satpam udah ga ada*.
Beres Ashar, tepat jam 5, kurir datang ke kantor saya, langsung menuju lantai divisi saya. Saat itu saya menerimanya di ruang sekuriti yang sekaligus ruang tunggu untuk tamu di lantai saya. Di sana ada satpam dan beberapa OA. Si kurir memperkenalkan diri, mengajak berjabat tangan kemudian bertanya, apakah ada tempat lain yang lebih nyaman untuk ngobrol. Di kantor saya ada kebijakan untuk tidak membawa tamu yang tidak berkepentingan ke dalam ruang kerja, cukup diterima di ruang tunggu saja. Saya bilang, "Emang gitu peraturannya mas, di sini aja deh, ya, lagian di dalem lagi rame banget".
Si kurir memastikan bahwa sebelumnya saya sudah konfirmasi dengan pihak marketing dan manajernya bahwa saya telah membuat kesepakatan untuk menerima penawaran tersebut. Jujur aja, sedari awal saya iya-iya aja itu lebih karena ga enak mau memutus pembicaraan dan mikir ‘Yaaa… Bolehlah kalo liat-liat dulu, toh dia ini yang dateng ke kantor saya’. Ternyata pikiran saya tersebut salah besar, karena sang kurir berkata bahwa apabila saya masih ingin berfikir, seharusnya memberikan konfirmasi kepada manajernya via pembicaraan di telfon sebelumnya bahwa masih belum tertarik dan jangan dulu membuat kesepakatan. Bagaimana mungkin saya *yang iya-iya aja ini* bisa menyampaikan maksud saya sementara si wanita marketing dan si manajer dengan lihai menggempur saya dengan buaiannya. Kata si kurirnya, kalo si kurir udah nyamperin, itu berarti udah fix harus transaksi.
Sebelumnya, dia menjelaskan sekali lagi benefit-benefit apa saja yang akan saya terima (kalo ditotal kira-kira lebih dari 15 juta rupiah) hanya dengan membayar biaya administrasi sebesar Rp 1.999.999,- yang hanya dibayarkan sekali selama 5 tahun (selama voucher berlaku). Di sini saya baru bener-bener ngeh, oh ternyata saya tadi salah denger. Pantes aja, kok murah banget cuma Rp200.000,-. Ternyata ya Rp200.000,- itulah jumlah cicilan perbulan yang harus dibayarkan sebanyak 10x cicilan, fyuh.
Saya bilang kalo saya mau nanya orang tua saya dulu, karena kartu kredit saya itu adalah kartu tambahan dari orangtua saya, jadi segala tagihan akan dialamatkan pada alamat orangtua saya. Saat itu dia berkata bahwa apabila memang saya ingin meminta persetujuan dengan orangtua saya, kenapa nggak dari tadi sebelum si kurir dateng. Dia udah nyampe sana, udah harus fix semuanya, dan itu berarti transaksi emang harus dilakuin. Dia ga memberikan saya kesempatan untuk meminta pendapat pada orangtua saya dan dengan sedikit mendesak ia memaksa saya melakukan autorisasi kartu kredit saya. Dipepet kaya gitu, saya makin ogah tapi masih belum berfikir bahwa ini adalah penipuan.
Beruntung pacar saya menelepon dan bilang kalo dia lagi ada di kubikel saya, mau nganterin dompet. Saya manggil dia ke tempat satpam dan mencoba meminta pendapatnya tentang penawaran tersebut. Karena saya lagi ga bisa mikir jernih, saya bilang ke kurirnya untuk menjelaskan ke pacar saya, tetapi ia keberatan dan menolak. Si pacar lalu bilang, "Yaudah diselesaikan dulu aja apa yang mesti diselesaiin," dan si kurir mengangguk setuju.
Si kurir sepertinya kemudian SMS-an dengan manajernya karena kemudian si manajer menelepon dan meminta untuk berbicara dengan saya. Saya menerima telepon tersebut tetapi belum sempat saya berbicara, pria yang berada di ujung telepon sana berkata dengan nada yang semakin meninggi bahwa saya seharusnya konsisten dengan kesepakatan yang dibuat di awal. Saya ga bisa ngebantah kalo emang saya meng-iya-kan ketika si manajer bilang bahwa dia akan mengirim kurir ke kantor saya sesuai dengan persetujuan dua pihak, tetapi maksud saya adalah untuk mendengarkan lebih jauh tentang penawaran yang diberikan. Dia sempat berkata bahwa dia memiliki voice recording percakapan kami sebelumnya ketika saya meng-iya-kan segala penawaran yang diberikan. Saya marah dan bilang, "Kok jadi emosi, mas? Kalo emang profesional, seharusnya pelayanannya ga seperti ini. Belum jadi nasabah aja saya udah diginiin, gimana ntar kalo udah deal?”. Tanpa mengakhiri pembicaraan dengan santun, saya menyerahkan kembali telepon kepada si kurir. Saya yang udah kadung males sontak menolak dan dengan sedikit marah mengatakan bahwa saya memilih untuk tidak menerima penawaran tersebut.
Setelah kurir berlalu, si pacar ngajak saya ngadem. Saat itu dia masih bingung, apa yang sebenernya terjadi. Dia fikir saya lagi terlibat proses pengajuan aplikasi kartu kredit. Saya jelasin dari awal nyampe mulut berbusa saking panjang dan detailnya cerita yang saya paparkan dengan emosi naik turun. Di akhir pembicaraan, si pacar berkata tenang, "Coba kamu search di google dengan keyword penipuan voucher hotel". Dia yang kemudian mencarinya di google dan voila! emang ternyata banyak banget kasus serupa yang terjadi dan hampir memakan banyak korban, malah ada yang udah terjebak dan ga mendapatkan bantuan apa-apa dari pihak bank yang mengeluarkan kartu kreditnya. Transaksi ga bisa dibatalkan, kalaupun mau mengadukan persoalan tersebut, harus melalui birokrasi yang sungguh ribet. Sontak saya istighfar, hampir aja saya juga kena tipu.
Si pacar ngasih kritik dan saran, katanya saya emang terlalu sering iya-iya aja kalo sedang mengalami hal seperti itu. Pelajarannya, kalo emang ga tertarik dan ga butuh, sudahi dari awal daripada rugi waktu. Ga ada fasilitas yang semudah itu diberikan kalo ujung-ujungnya ga justru jadi membelit si customer itu sendiri. Kalo emang menginginkan sesuatu, harus ngedapetin dengan memberikan usaha yang pantas pula. Well, pengalaman ini pastilah bukan pengalaman terakhir. Masih akan ada hal-hal berikutnya yang mungkin terjadi dan kita sebaiknya lebih waspada.
Tegas, logis, dan jangan impulsif.
***