Friday, May 18, 2012

Visit Banda Aceh 2012


Setelah menghabiskan 3 hari di Medan, di malam ketiga kami melanjutkan perjalanan ke Aceh yang memang merupakan kelanjutan dari Trip Medan pada postingan sebelumnya dan merupakan tujuan utama kami. Transportasi dari Medan menuju Aceh bisa dengan menggunakan bus atau pesawat. Sebelumnya kami berencana untuk menggunakan bus tetapi dengan waktu yang terbatas, kami memilih naik pesawat aja dengan penerbangan selama 1 jam.

Setibanya di Bandara Sultan Iskandar Muda, kami memesan taksi Avanza yang bertarif 70 ribu dengan tujuan ke Hotel Madinah. Taksi Avanza ini merupakan taksi resmi di bandara. Drivernya menunjukkan surat resmi sebagai pengendara taksi bandara. Perjalanan ke hotel Madinah kurang lebih memakan waktu 20 menit. Dalam perjalanan, kami melewati Kuburan Massal Korban Tsunami terbesar di antara ketiga kuburan massal yang ada yang letaknya tak jauh dari bandara.

Penginapan yang kami pilih adalah rekomendasi dari Dedi Miswar, yaitu di Hotel Madinah. Pemesanan telah kami lakukan sebelumnya via telfon dan tidak dikenai keharusan membayar DP. Hotel ini beralamat di Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh, Banda Aceh.

Hotel Madinah

Sabtu, 5 Mei 2012, kami bersiap-siap menuju Sigli, tempat diadakannya resepsi pernikahan Dedi Miswar. Perjalanan dari Banda Aceh ke Sigli ditempuh dalam waktu kurang lebih hampir 2 jam. Jalanannya bagus dan mulus meski agak naik turun dan sedikit berbelok. tetapi banyak juga jalan yang mulus dan lurus saja sehingga aman bagi saya yang mabuk darat, hehe..

Saat kami tiba di rumah mempelai, masih berlangsung acara resepsi adik dari Dedi Miswar. Resepsi mereka diadakan berbarengan walau akad nikah adiknya telah berlangsung 2 bulan sebelum akad nikah. Resepsi sempat diwarnai hujan gerimis tetapi tidak mengganggu jalannya acara yang berlangsung di kediaman Dedi. Sejak tiba di tempat, saya udah kelaperan dan sempet ngambekin si pacar karena ga dibolehin makan duluan, nunggu resepsi adiknya Dedi beres dulu. Tapi untungnya selama penantian makan besar, kami disuguhi rupa-rupa jajanan yang cukup untuk mengganjal perut.

Sekitar 1 jam menunggu, tibalah acara resepsi Dedi Miswar dan istri. Kami para tamu dari kantor dijamu khusus dengan sajian makanan yang sungguh membuat air liur menetes. Ga cuma penampakannya yang menggiurkan tapi rasanya juga enaaakkk enak semuaaa. Tadinya sih ngumpet-ngumpet nambah 1 bungkus nasi tapi ketahuan juga, fufufu..
Resepsi Dedi Miswar di Sigli dan beragam jamuan resepsi

Jam 2.30 siang kami pamit kembali ke Banda Aceh. Dalam perjalanan pulang, kami mampir di warung pinggir jalan untuk menikmati perasan air tebu. Rasanya enaaakkk, segeeerrr, mujarab menghilangkan mual bagi saya.

Setibanya di Banda Aceh, kami kembali ke hotel terlebih dahulu untuk berganti pakaian dan bebersih lalu melanjutkan perjalanan ke Masjid Baiturrahman kemudian menanti sunset di Pelabuhan Ulee Lheue. Di pelabuhan ini banyak terdapat jajanan seperti jagung bakar dan cemilan-cemilan ringan lainnya karena banyak orang yang memang menyempatkan diri untuk bersantai di sepanjang jalan menuju Pelabuhan. Lokasinya hampir mirip dengan wilayah Tepian di Samarinda tetapi dengan variasi jajanan yang lebih sedikit. Menjelang maghrib kawasan pinggir pelabuhan menjadi sepi karena syariah di sana memang tidak memperbolehkan adanya kegiatan saat memasuki waktu sholat.

Kami menuju Masjid Baiturrahim yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Ulee Lheue untuk menunaikan sholat Maghrib. Di mesjid ini terdapat banyak foto yang menggambarkan suasana saat terjadi bencana tsunami 2004 silam. Dari sekian banyak foto yang ada, ada beberapa foto yang mengabadikan momen di mana beberapa masjid tetap berdiri kokoh dengan kerusakan yang sangat minim dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarnya. Subhanalllah, begitu besar kekuasaan Allah SWT dan ditunjukkan kepada kita.

Sunset di Pelabuhan Ulee Lheue dan Maghrib di Masjid Baiturrahim

Sholat isya kami tunaikan di Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan masjid bersejarah di Aceh. Masjid ini didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636. Desember 2004, saat terjadi tsunami yang memporak-porandakan bumi Aceh, banyak orang yang selamat dengan berlindung di dalamnya. Saat bencana mereda, masjid ini tetap berdiri kokoh dikelilingi bangunan-bangunan lainnya yang rata dengan tanah. Saat air mulai surut, ribuan jenazah korban tsunami dikumpulkan di sekitar Masjid Baiturrahman ini. 

Selanjutnya, kami makan malam di Mie Aceh Razali, yang berlokasi di Jl. T. Panglima Polim. Selama di Jakarta, saya beberapa kali makan Mie Aceh Meutia di Bendungan Hilir. Rasanya enak, tapi lebih enak lagi mie Aceh yang beneran di Aceh ini. Mie nya lebih gurih dan minyaknya ga bleber sana-sini, daaan ada pilihan menu kepiting juga makanya enaknya jadi nambah.
Masjid Baiturrahman dan Mie Aceh Razali

Beres dari Mie Aceh Razali, sebagian dari kami memisahkan diri untuk sekedar menghabiskan malam sambil menikmati kopi Aceh di tempat gaul muda-mudi Aceh di Kafe 3 in 1. Karena hari sudah malam dan masih banyak kegiatan yang direncanakan untuk keesokan harinya, kami memutuskan untuk beristirahat saja, mengisi kembali persediaan energi. 

Minggu, 6 Mei 2012, kami sarapan Nasi Gurih di Warung Inti. Nasi gurih ini hampir mirip dengan nasi uduk. Pengaruh racikan bumbu dan santannya sangat terasa di lidah. Pilihan lauknya bermacam-macam sesuai selera, saya memilih menyantapnya dengan dendeng.

Sarapan nasi gurih di Warung Inti

Setelah sarapan, kami menuju Museum Tsunami Aceh yang terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda, Kampung Sukaramai, Baiturrahman, Banda Aceh. Saat kami tiba, museum sedang ditutup karena hari libur. Museum ini merekam berbagai kenangan akan bencana tsunami yang melanda bumi Aceh dan sekitarnya pada Desember 2004 silam dan didirikan pada tahun 2007. Kami hanya berkesempatan mengelilingi area luar museum. Terdapat kolam ikan yang cukup luas dikelilingi ornamen batu-batu bundar di sekelilingnya yang bertuliskan nama-nama negara donatur yang ikut berpartisipasi dalam pembangunan museum ini.

Di sisi luar museum, sebelum memasuki pintu utama, terdapat puing helikopter Polda NAD yang turut menjadi saksi bisu peristiwa tsunami kala itu. Helikopter yang telah menjadi puing ini sebelumnya diletakkan di Fakultas Teknik Unsyiah dan kemudian dipindahkan ke Museum Tsunami sebagai salah satu objek sejarah peninggalan Tsunami. 

Siang harinya kami menuju PLTD Apung yang terletak di Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Obyek wisata ini merupakan kapal besar dengan panjang 63 m dan berat 2.600 ton yang terhempas air laut pada saat terjadinya tsunami dan berpindah sejauh 4 km dari posisi awalnya. Kapal ini terseret dan menghancurkan setiap bangunan yang dilaluinya hingga kemudian berhenti di komplek pemukiman dan pemakaman. Dari lokasi kapal ini kita dapat melihat deretan Bukit Barisan.

Tujuan kami berikutnya yaitu Kapal Tsunami Lampulo. Kapal sepanjang 18 m ini adalah kapal nelayan yang terseret arus tsunami dan nyangkut di atas rumah salah satu penduduk yang selamat pada saat terjadi bencana tsunami. Penjagaan obyek ini dilakukan secara gotong royong oleh warga setempat.


Museum Tsunami, PLTD Apung, dan Kapal Tsunami Lampulo 

Untuk mengisi perut setelah berkeliling ke berbagai tempat, pilihan jatuh pada RM Hasan dengan makanan khas Aceh yang menggoyang lidah. Ini beneran make ganja deh kayanya bumbu-bumbunya, abisan nagih bangeeettt, bikin pengen nambah mulu.

Sore hari jam 3 kami menuju pelabuhan Ulee Lheue dan jam 4 sore kami menyeberang ke Sabang menggunakan kapal cepat Express Bahari dengan waktu tempuh 45 menit. Sesampainya di Sabang, kami dijemput oleh driver yang kemudian mengantarkan kami menuju mie jala di daerah kota Iboih. Mie jala ini direkomendasikan oleh driver kami di Banda Aceh. Rasanya biasa saja menurut saya, seperti mie ayam tanpa ayam dan bakso. 

Di Aceh, jam 6 sore masih terlihat terang dan baru memasuki waktu Maghrib sekitar pukul 7 malam. Selama menunggu Maghrib, kami menghabiskan waktu di Pantai Paradiso untuk hunting sunset. Alhamdulillah cuaca lumayan cerah sehingga dapatlah beberapa foto sunset yang ciamik (di kamera pacar dan Hario tapinyaaa). Menurut informasi dari driver, penginapan yang kami pesan jaraknya cukup jauh dari kota, yaitu sekitar 30 menit kalo ngebut, jadi kami langsung menuju penginapan.

Penginapan yang kami pilih yaitu Fina Bungalow dengan fasilitas AC, TV, tanpa air panas. Bungalownya bersih dan bagus dengan rate 300 ribu/malam. Pada saat kami check-in, berhubung kami terdiri dari sepasang cewe dan sepasang cowo, sehingga penjaga hotel meminta apabila kami memiliki surat nikah. Usut punya usut ternyata mereka khawatir apabila 2 pasang anak manusia ini nantinya akan khilaf dan terjadi pertukaran pelajar antar pasangan menjelang malam (hadeuh, tapi gpp sih, namanya juga tindakan preventif). Berhubung kamar yang kami pilih benar-benar bersebelahan dan tidak ada pemisah di antara balkonnya, setelah bebersih kami sempatkan mengobrol di balkon kamar. Saya lupa persisnya jam berapa tapi penjaga hotel mendatangi kami dan memberitahu bahwa sebaiknya kami beristirahat saja karena kebiasaan di sana, tidak diperbolehkan yang bukan muhrim berbicara sampai larut malam di luar rumah (elap keringat netes, huff). Udah cantik, ganteng, wangi, bersih, saatnya bobooo kalo gituuu.

Fina Bungalow

Selama berhari-hari trip kami, belum pernah sekalipun kami mendapati sunrise. Begitupun yang terjadi di Senin, 7 Mei 2012 pagi itu. Kami baru beranjak dari hotel untuk sarapan sekitar pukul 9 pagi. Agak susah mencari tempat makan di sekitar bungalow, sehingga pilihan lagi-lagi ga jauh dari mie rebus ataupun mie goreng.

Selesai sarapan, kami menuju dermaga untuk bersiap-siap mengitari Pulau Rubiah yang terletak tak jauh dari Pulau Weh yang kami tinggali. Kami menaiki kapal dengan fasilitas box underwater (anggap aja istilahnya ini, deh). Jadi, di tengah-tengah kapal terdapat kaca di dasar box yang diturunkan ke tengah-tengah kapal sehingga tanpa basah-basahan kami bisa melihat karang-karang dan ikan-ikan kecil di perairan dengan visibility 3 meter. Karang-karang yang terlihat biasa aja, masih jauh lebih bagus karang-karang dan pemandangan yang pernah saya lihat di tempat lain. Banyak karang yang udah mati karena global warming dan sebagian karena terkena efek dari tsunami yang menghancurkan biota bawah laut tersebut. Akan tetapi ada pemandangan lain yaitu ikan-ikan kecil berwarna-warni dan bintang laut biru yang menempel malas di beberapa karang.

Para wanita emoh untuk turun ke air dan hanya para pria yang nyebur ke laut untuk snorkeling. Ya itu juga sebenernya karena mereka emang belom mandi, sih, huff.. Kami kemudian dibawa menuju mobil karam yang memang sengaja dikaramkan sekitar 4 bulan yang lalu untuk memancing pertumbuhan karang. Visibility kurang baik karena cukup jauh sekitar 10 meter sehingga hanya terlihat samar-samar dari underwater box.

Pulau Rubiah dan snorkeling

Selepas snorkeling, kami menuju Tugu Nol Km yang menjadi tujuan utama kami mencapai Sabang. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dengan kondisi jalan yang mulus tetapi sangat sempit hanya 1 jalur. Setibanya di Tugu Nol Km, hanya kami yang ada si sana. Maklum, emang lagi bukan hari libur jadi puas bebas haha-hihi foto-foto di sana-sini. Setiap pengunjung yang telah menjejakkan kakinya di wilayah 0 km ini berhak mendapatkan sertifikat dari Dinas Pariwisata pulau Sabang. Karena kendala teknis, sertifikat akan menyusul untuk dikirimkan kemudian oleh driver kami yang bersedia mengurusinya.

Tugu 0 km, Sabang

Karena pemandangannya hanya itu-itu aja, kami kembali ke kota Iboih dan mencari makan siang. Walau udah di Iboih, tetep aja excited begitu nemu RM Padang. Kenyang, puas, bahagia, minum antimo, siap-siap deh kembali ke Banda Aceh menggunakan kapal cepat Pulo Rondo. Saya yang sebelumnya udah minum antimo langsung terlelap begitu tiba di ruang VIP kapal dan baru tersadar begitu udah nyampe. Ah, lagi-lagi, antimo did save my trip, hihi..

Setibanya di Banda Aceh, kami dijemput driver yang mengantar kami menuju tempat pencarian oleh-oleh. Kami kalap melihat banyaknya souvenir khas Aceh yang menarik. Saya sendiri kalap beli 1 tas cangklong, 1 tas kecil untuk kondangan, 3 dompet panjang, 3 tempat HP, 15 pin magnet dan beberapa kopi sachet khas Aceh. Ah, ga peduli lah mau mahal ato gimana yang penting puas.

Puas dengan segambreng belanjaan, kami check-in kembali di hotel Madinah, bebersih dan beberes lalu mencari makan malam di Sate Matang D'Wan. Saya sebenernya ga begitu doyan sate. Tadinya malah agak ga sreg dengan pilihan menu makan malam kami itu. Tapi setelah dijajal, uwooohhh, enaaakkk, nasi yang sebelumnya setengahnya saya bagi ke si pacar saya ambil kembali karena ga cukup memanjakan lidah dan perut, fufufu.. Untung si pacal sabalnya bukan main, hihihi.. Perut udah kenyang, hati semakin bahagia, saatnya mengistirahatkan sekujur tubuh yang udah seharian penuh menjalankan berbagai aktivitas. 

Selasa, 8 Mei 2012, hari terakhir dalam trip kami yang sungguh mengesankan, kami sarapan di Solong Kopi Ulee Kareng. Di sana kami disuguhi nasi gurih yang rasanya, hmmm... mendingan coba sendiri aja yaaa, saya sih pasti bilang enak, hehe... Nah, di sebelah warung kopi ini ada toko oleh-oleh namanya Mr. Piyoh yang menjual kaos-kaos lucu bertemakan Aceh dan beberapa souvenir yang juga ga kalah lucunya. Harganya pun terjangkau, kaos dijual dengan harga 80 ribu tapi karena saya beli banyak jadinya dapat diskon, 1 kaos harganya 75 ribu saja. Saya sempat bolak-balik beberapa kali ke toko tersebut karena tadinya ga pengen beli buat adik-adik saya tapi jadinya beli juga deh. Kalo aja duit di dompet masih banyak, pengen beli lebih banyak lagi, hehe..

Flight kami kembali ke Jakarta dijadwalkan pada pukul 12.15. Sekitar pukul 11.30 kami menuju bandara yang ternyata lokasinya hanya ditempuh dalam waktu 10 menit. Dari jauh saya ga tau kalo itu bandara, karena kubahnya mirip mesjid. Saya fikir ini adalah mesjid raya lainnya di Aceh, eh gataunya itu bandara. Bandaranya sendiri rapi dan bersih.

Tepat pukul 12.15 kami bertolak menuju Jakarta selama 3 jam dengan kondisi cuaca yang tidak begitu baik karena banyak terjadi turbulensi sehingga saya ga berani tidur. Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat kembali di Jakarta dan berakhirlah sudah trip Medan-Aceh kami yang sungguh sangat mengesankan, beyond my expectation (terlepas dari alasan karena perginya bareng pacar dan sahabat loh yaaa). Aceh emang beneran sangat layak untuk dikunjungi karena wisatanya beragam, mulai dari wisata bahari, wisata budaya, wisata kuliner, wisata sejarah, dan beragam wisata lainnya yang belum sempat kami kunjungi hanya dalam waktu 4 hari.

Suatu saat nanti, insya Allah, saya (atau kami) akan kembali ke sana lagi. Amiiinnn... 

BUDGET:


PENGINAPAN:
di Banda Aceh:
Hotel Madinah
Standard room: twin bed, hot shower, AC, TV
Rate: Rp200.000,-/night
Phone: 0651-21415
 

di Sabang:
Fina Bungalow
Deluxe room: double bed, AC, TV
Rate: Rp300.000,-/night
Phone: 0852 6211 1366

RENTAL MOBIL:

di Banda Aceh:
Tarif: 400 ribu/hari (termasuk driver, belum termasuk BBM)
CP: *menyusul*

di Sabang:
Tarif: 400 ribu/hari (termasuk driver dan BBM)
CP: *menyusul*

No comments: