Thursday, October 15, 2020

Uneg-uneg

Seperti hari-hari lainnya, pukul 5 sore, saya mengajak anak-anak keluar rumah untuk sekedar jalan sore menikmati udara segar di komplek sambil menggenapkan langkah menjadi 5.000 atau sesekali bersepeda untuk menggerakkan otot-otot kami yang kebanyakan dipakai untuk duduk atau rebahan saja di rumah.

Sebelum berangkat, saya sempatkan buka Instagram dan melihat status IG Story teman-teman terlebih dahulu. Story yang pertama muncul adalah milik @bubu_ninid yang bercerita tentang perjuangan Bubu dan keluarga menghadapi ujian sakitnya Papanya Bubu 3 tahun yang lalu. Saat itu saya, Bubu, serta beberapa teman lainnya masih cukup sering bertemu, entah di event khusus atau hanya sekedar meet-up. Kami dekat karena kesukaan kami terhadap salah satu brand fashion muslimah, yang pada awalnya kompak membahas soal fashion tapi pada akhirnya malah lebih banyak membahas parenting, wisata kuliner, skincare, apapun lah itu yang lazim menjadi bahan pembicaraan wanita, termasuk bergunjing sesekali, hehe..

Bubu yang saya kenal dulu sangat fashionable, selalu matching from head to toe, OOTD-nya inspiratif, you name it. Dalam waktu singkat, bubu menjelma menjadi salah satu idola saya walau tidak semua fashionnya sesuai selera saya tapi kalau Bubu yang pakai, rasanya semua terlihat menarik.

Sampai 3 tahun yang lalu, Bubu mulai jarang ikut ngumpul. Bukan menarik diri karena jenuh dengan pertemanan kami, tetapi qadarullah ternyata Papanya Bubu sedang sakit. Karena keterbatasan yang ada, saya belum sempat menengok kondisi Bubu saat itu tapi kami tetap keep contact sesekali. Yang saya tau kemudian, penampilan Bubu berubah menjadi jauh lebih tertutup, itupun hanya saya amati lewat sosmed.

Saat itu saya sedang hamil Yayanna dengan usia kandungan masih beberapa minggu dan mengalami hyper-emesis berat sampai-sampai harus bedrest 3 bulan dari kantor karena tidak sanggup beraktivitas normal. Sebagian besar waktu saya habiskan dengan berbaring di pinggir kasur di mana ada ember kecil di samping kepala saya untuk membuang liur yang memenuhi mulut. Liur ini nggak boleh tertelan, karena akan mengakibatkan saya muntah hebat. Sudahlah makan hanya bisa sedikit, masa harus ditambah muntah juga, kan. Syukurlah waktu itu ART saya sangat helpful sehingga bisa menemani Azka bermain. Sedih sebenarnya ketika Azka mengatakan bahwa dia senang bubunnya tidak kerja tetapi pada kenyataannya bubunnya hanya bisa terbaring lemah tidak bisa menemaninya bermain.

Saat itu saya nonaktif dari semua sosmed selama hampir 6 bulan, tidak mengunggah satupun aktivitas yang sebelumnya biasanya selalu saya share ke sosmed. Bagaimana mungkin, kan, saya si pecandu sosmed, tiba-tiba menjadi mual setiap kali membayangkan isi sosmed. Yang tidak kalah lucu, saya menjadi mual setiap melihat produk dari brand favorit saya sampai-sampai ketika beberapa sahabat saya ingin berkunjung ke rumah, saya berpesan agar mereka tidak memakai merk itu. Hanya mereka yang tau kisah ini dan sekarang kalian juga tau. Kalau sekarang, sih sudah suka lagi, hehe.. Betapa hati manusia itu sangat mudah dibolak-balikkan.

Saat itu saya banyak merenung, apa salah dan dosa saya sehingga saya mengalami kehamilan yang membuat saya payah luar biasa. Saya terus-terusan meminta maaf pada orangtua untuk segala kesalahan saya pada mereka dengan harapan bahwa badai mual ini bisa segera mereda. Hyper-emesis ini membuat berat badan saya justru berkurang selama hamil trimester pertama.

Sesekali saya masih buka instagram dan yang muncul di page teratas mostly berupa tausiyah. Pernah ada masanya di mana setiap kali saya membaca tausiyah, hati ini tidak bergetar, malah cenderung mengabaikan. Saat itu saya merasa cukup dengan menjaga sholat wajib 5 waktu, puasa, dan zakat tanpa mengindahkan kekuatan ibadah sunnah. Betapa banyak waktu luang yang sudah saya abaikan sebelumnya.

Saat tergeletak tak berdaya dengan hyper-emesis itu, saya kuatkan diri untuk menambah amalan ibadah sunnah semampu saya. Tak perlu disebutkan, ya, saya malu, karena itupun hanya sedikit, hehe..

Kondisi hyper-emesis saya mulai membaik di bulan kesembilan. Saya sudah tidak perlu bawa gelas buat menampung air liur kemana-mana dan yang terpenting sudah mulai bisa makan enak lagi. Saat cuti hamil, sesekali saya jalan-jalan berdua dengan Azka untuk sekedar bertemu dengan teman-teman yang sudah berbulan-bulan tidak pernah saya lihat. Saya sudah mulai lupa lagi akan tausiyah-tausiyah itu padahal tubuh sudah jauh lebih sehat. Manusia memang sering lupa akan janjinya di kala sedang tak kekurangan apapun.

Saat Yayanna lahir di bulan Februari sampai awal Juni, kehidupan berjalan normal, hanya sedikit dramatis karena menyusui anak kedua tidak semudah anak pertama dulu. Saat itu saya kembali melihat runutan cerita dari @bubu_ninid mengenai perjuangannya untuk kesembuhan Papa-nya sebelumnya. Qadarullah Papa Bubu sudah tiada pada saat itu. Sebelumnya, selain mencari pengobatan medis terbaik, Bubu juga lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu sebagai anak yang berbakti pada orangtua, karena dengan doa dari anak yang sholeh/sholehah insyaAllah akan diijabah oleh Allah SWT. Intinya, Bubu yang sekarang sudah berubah jauh lebih baik lagi.

Dari situ hati saya tergerak dan menjadi berfikir, "Kok selama ini saya rasanya seperti jalan di tempat aja, ya?" Saya mulai mengikuti apa yang Bubu lakukan, dimulai dari yang saya sanggup lakukan, yaitu lebih menjaga aurat, memanjangkan jilbab dan mengganti celana kebangsaan dengan rok atau dress untuk keseharian. Bisa ditebak, pro dan kontra pasti ada. Pro saya dapatkan dari sahabat-sahabat sholehah yang lebih dulu berpakaian tertutup sementara kontra hanya sedikit saya dapatkan terutama dari mereka yang menganggap saya sudah tidak asik lagi, sudah emak-emak banget, persis seperti yang dulu saya takutkan, tapi ternyata pada kenyataannya saya bisa mengabaikan itu semua. Sumber semangat terbesar saya dapatkan dari suami yang ternyata lebih menyukai penampilan baru saya yang katanya lebih feminin ketimbang style jadul dengan chino pants yang memperlihatkan separuh betis saat sedang duduk karena terangkat. Duh.

Dengan mengubah gaya berpakaian, tidak serta-merta saya jadi orang baik. Tidak. Tapi paling tidak, saya berusaha lebih baik dari diri saya di hari kemarin. Saya hanya berkompetisi dengan diri saya sendiri. Sampai saat ini, dalam hal berpakaian, sudah tidak ada niatan untuk kembali pada style yang dulu, karena setelah dijalani, saya sudah merasa sangat nyaman.

Hal berikutnya yang mengganggu pikiran saya adalah mengenai koleksi. Seringkali saya mendapatkan pencerahan mengenai barang koleksi nyatanya bukanlah merupakan harta sesungguhnya melainkan hanya pemberat kita saat hisab nanti. Kegemaran saya belanja dulu sudah sampai pada level membuat suami saya geleng-geleng kepala. Saya merasa mampu membeli barang dengan penghasilan sendiri sehingga mengabaikan saran suami untuk tidak mengeluarkan uang semudah itu hanya demi fashion. Saya dan suami sangat bertolak belakang sekali untuk urusan fashion. Sedari saya menikah dengannya hingga hampir 8 tahun ini, tumpukan pakaiannya bahkan tidak sampai 1/10 dari koleksi saya. Sekarang, saya justru iri pada suami yang bangga hanya punya sedikit pakaian dan sering memakai pakaian yang sama sampai berulang kali, beda dengan saya yang sering memakai baju hanya 1-2 kali lalu merasa bosan dan ingin mengganti dengan baju lain lagi.

Pelan-pelan saya tinggalkan kebiasaan mengoleksi barang. Selayaknya wanita, keinginan untuk shopping masih sangat besar, hanya saja saya biasakan setiap ada barang yang masuk, sebelumnya harus ada yang keluar, entah itu saya bagi-bagikan pada keluarga, teman atau saya jual. Tidak cukup hanya dengan 1 in 1 out, kalau perlu untuk 1 baju yang akan masuk, saya mengeluarkan 2-3 baju lainnya supaya lama-kelamaan isi lemari semakin menyusut.

Apalagi sejak pandemi di awal tahun lalu, saat saya sedang cuti kerja 1 tahun dan menjadi full IRT, praktis saya hampir tidak kemana-mana, jadilah barang-barang yang bertumpuk itu ketahuan tidak banyak manfaatnya karena pakaian yang saya kenakan hanya itu-itu saja. Ditambah lagi di pertengahan 2020 ini, saya pindahan kembali dari Balikpapan ke Jakarta, makin terasa ternyata saya punya begitu banyak barang yang hanya sekedar lucu tapi tidak terlalu penting. Pada akhirnya, sekarang setiap weekend saya selalu luangkan waktu untuk mengumpulkan barang-barang yang sekiranya tidak akan terpakai, untuk saya keluarkan dari tempat penyimpanannya. Target saya, 1 lemari 3 pintu ukuran standar yang ada di kamar saya ini harus cukup menampung semua pakaian saya termasuk mukena, handuk, seprei, dan lain-lain. Itu sendiri pun sudah banyak, bukan?

Saat mengumpulkan barang-barang untuk kemudian saya lepaskan, tidak hanya sekali-dua kali saya merasa sayang. Sayang kalau nanti tiba-tiba kepengen, belum tentu nanti bisa dapat dengan harga yang murah lagi, dsb tapi pada akhirnya ketakutan saya akan hisab selalu bisa memenangkan pertarungan batin. Saya pernah baca di IG Story salah satu teman kantor, apabila kita merasa sayang akan suatu barang tapi saat ini belum kita perlukan, lepaskan saja. Suatu saat apabila kita membutuhkannya, mudah-mudahan Allah SWT mampukan kita untuk memilikinya kembali.

Perlahan-lahan tas, sepatu, kosmetik, serta printilan rumah lainnya saya kurangi dan itu rasanya legaaa banget ketika tahu bahwa rak tas yang tadinya 1 itu ga cukup, sekarang sudah lowong, hanya terisi barang-barang yang memang masih terpakai. Gantungan dan lipatan baju di lemari juga sedikit demi sedikit berkurang walau sesekali masih ada anggota baru yang masuk. Isi gudang di rumah juga berkurang. Banyak sekali barang yang sudah tersimpan berbulan-bulan atau bertahun-tahun ternyata tidak terpakai. Dulu disimpan hanya karena merasa sayang.

Saya sering baca hal ini, “Mulailah dari hal yang kecil untuk mengubah hal yang besar”. Mudah-mudahan setiap hal kecil yang kita lakukan asalkan itu mengarah pada kebaikan, suatu saat mengundang hal baik lainnya yang lebih besar untuk terjadi di hidup kita.

Beberapa minggu yang lalu Azka menghadapi Penilaian Tengah Semester Pendidikan Agama Islam kelas 1 dan salah satu materinya adalah mengenai tujuan manusia hidup di dunia ini. Saat itu Azka bisa menjawb dengan benar, yaitu untuk beribadah pada Allah SWT. Sambil mengawasi Azka PTS, saya termenung, betapa selama ini saya seringkali lalai padahal sejak kelas 1 SD saya sudah diajarkan tentang hal itu.

Bismillah, tidak ada kata terlambat, yuk kita mulai lagi :)

No comments: