Kepengen nulis sesuatu tapi lack of idea, jadinya menyambung postingan sebelumnya saja, mengenai pengalaman dalam perjalanan jauh bersama teman sebangku yang 'mengasyikkan'.
Suatu ketika saya naik pesawat dari Balikpapan menuju Jakarta. Waktu itu belum ada kasus heboh soal menghilangnya salah satu armada ini di atas salah satu perairan di Indonesia. Dan saya pun belum begitu fobia naik pesawat. Tapi saat itu, kondisi guncangan berkali-kali yang pesawat alami membuat kondisi mental saya agak sedikit jatuh. Berulang kali saya berdoa dalam hati, semoga kami aman-aman saja. Biasanya saya akan merasa, at least, sedikit lebih baik kalo kondisi orang-orang di sekitar saya cukup tenang. Kalo udah panik juga, saya bakal lebih panik lagi jadinya. Saat itu, teman sebangku saya, seorang wanita yang cukup berumur.
Sejak pesawat take-off, buku doa ga lepas dari tangannya dan mulutnya sepertinya tak henti berkomat-kamit membaca doa pula. Agak sedikit tentramlah hati saya... di awal perjalanan. Begitu guncangan pertama terjadi dan memang cukup dahsyat sehingga minuman saya tumpah, muka ibu itu pucat pasi, demikian juga saya, pastilah darah seperti berhenti mengalir di wajah saya. Guncangan kedua, ibu itu teriak tertahan, demikian juga saya, teriak keras dalam hati. Guncangan ketiga dan lebih dahsyat lagi, buku doanya terlempar dan mulailah ia menceracau sejadi-jadinya. Teriak setengah menangis dan berkata bahwa ia belum ingin mati, dll, dsb. Oke, saya mulai panik juga. Saya coba tenangkan ibu itu, berkata bahwa everything is under control, tsaahh.. Eh, tapi bener kok, i was talking to myself, mencoba membenarkan harapan saya.
Ketika keadaan udah berangsur normal dan hanya terjadi guncangan sesekali, ibu itu menceracau lagi, kalo terjadi sesuatu dengan pesawat itu, kami yang duduk paling belakang yang bakal lebih dulu terseret angin, jatuh terhempas ke bumi. Gantilah saya yang panik begitu kemudian terjadi guncangan berikutnya. Stress, tapi saking stressnya saya cuma bisa terdiam membisu sementara ibu itu bertolak belakang dengan saya, teriak sejadi-jadinya, berpegangan erat-erat di kursi.
Tapi Alhamdulillah, sisa perjalanan berikutnya cukup lancar, dan sejak turun dari pesawat hingga pengambilan bagasi, saya berjalan menemani ibu tadi yang benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga kami berpisah. Tampaknya memang ia benar-benar shock.
Kali lain, dalam perjalanan dari bandara ke Gambir, saya bersebelahan dengan seorang ibu yang cukup modis. Singkat cerita, kami berkenalan dan di ujung perkenalan ia meminta nomor hp saya, ceritanya mau dikenalin ke anaknya. Ia sempat memperlihatkan saya foto anaknya, lumayan ganteng, makanya saya mau-mau aja, haha.. Tapi, berhari-hari kemudian, ditunggu-tunggu, tak kunjung ada kabar dari si ibu. Yah, lumayan, buat jadi cerita aja nantinya.
Wuops, udah masuk waktu Dzuhur dari tadi. Saya lanjutkan nanti lagi, ya *kaya ada yang baca aja, ahaha*
Suatu ketika saya naik pesawat dari Balikpapan menuju Jakarta. Waktu itu belum ada kasus heboh soal menghilangnya salah satu armada ini di atas salah satu perairan di Indonesia. Dan saya pun belum begitu fobia naik pesawat. Tapi saat itu, kondisi guncangan berkali-kali yang pesawat alami membuat kondisi mental saya agak sedikit jatuh. Berulang kali saya berdoa dalam hati, semoga kami aman-aman saja. Biasanya saya akan merasa, at least, sedikit lebih baik kalo kondisi orang-orang di sekitar saya cukup tenang. Kalo udah panik juga, saya bakal lebih panik lagi jadinya. Saat itu, teman sebangku saya, seorang wanita yang cukup berumur.
Sejak pesawat take-off, buku doa ga lepas dari tangannya dan mulutnya sepertinya tak henti berkomat-kamit membaca doa pula. Agak sedikit tentramlah hati saya... di awal perjalanan. Begitu guncangan pertama terjadi dan memang cukup dahsyat sehingga minuman saya tumpah, muka ibu itu pucat pasi, demikian juga saya, pastilah darah seperti berhenti mengalir di wajah saya. Guncangan kedua, ibu itu teriak tertahan, demikian juga saya, teriak keras dalam hati. Guncangan ketiga dan lebih dahsyat lagi, buku doanya terlempar dan mulailah ia menceracau sejadi-jadinya. Teriak setengah menangis dan berkata bahwa ia belum ingin mati, dll, dsb. Oke, saya mulai panik juga. Saya coba tenangkan ibu itu, berkata bahwa everything is under control, tsaahh.. Eh, tapi bener kok, i was talking to myself, mencoba membenarkan harapan saya.
Ketika keadaan udah berangsur normal dan hanya terjadi guncangan sesekali, ibu itu menceracau lagi, kalo terjadi sesuatu dengan pesawat itu, kami yang duduk paling belakang yang bakal lebih dulu terseret angin, jatuh terhempas ke bumi. Gantilah saya yang panik begitu kemudian terjadi guncangan berikutnya. Stress, tapi saking stressnya saya cuma bisa terdiam membisu sementara ibu itu bertolak belakang dengan saya, teriak sejadi-jadinya, berpegangan erat-erat di kursi.
Tapi Alhamdulillah, sisa perjalanan berikutnya cukup lancar, dan sejak turun dari pesawat hingga pengambilan bagasi, saya berjalan menemani ibu tadi yang benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga kami berpisah. Tampaknya memang ia benar-benar shock.
Kali lain, dalam perjalanan dari bandara ke Gambir, saya bersebelahan dengan seorang ibu yang cukup modis. Singkat cerita, kami berkenalan dan di ujung perkenalan ia meminta nomor hp saya, ceritanya mau dikenalin ke anaknya. Ia sempat memperlihatkan saya foto anaknya, lumayan ganteng, makanya saya mau-mau aja, haha.. Tapi, berhari-hari kemudian, ditunggu-tunggu, tak kunjung ada kabar dari si ibu. Yah, lumayan, buat jadi cerita aja nantinya.
Wuops, udah masuk waktu Dzuhur dari tadi. Saya lanjutkan nanti lagi, ya *kaya ada yang baca aja, ahaha*
No comments:
Post a Comment